Sanu Infinita Kembar: Konsep Spiritualitas Motinggo Busye
Thursday, December 15, 2016
Edit
Sejak munculnya novel Sanu, Infinita Kembar terbitan Gunung
Agung, 1985, Motinggo Busye agaknya telah mengubah sikapnya dalam dunia
penciptaan novel. Dengan potensinya yang brilian, pengarang yang lahir di
Kupangkota, Lampung, pada 21 November 1937 ini telah berhasil memotret
kehidupan manusia yang lebih utuh, total, paling tidak dalam ukuran dia
sendiri. Boleh jadi novelnya yang terakhir ini menjadi penutup gelimangnya
dalam dunia penciptaan novel hiburan (yang begitu laris) dalam khasanah
kesusastraan Indonesia modern.
Novel Sanu, Infinita
Kembar pernah mendapat hadiah dan sekaligus sebagi bonus majalah sastra Horison, Juli 1985. Pada hemat saya,
novel ini merupakan suatu bukti bahwa Busye telah mengubah haluan dalam konsep
kepengarangannya. Dalam sebuah wawancara dengan Frans Kowa (Horison,
Maret 1987), Busye mengatakan bahwa yang menjadi landasan mengapa ia menulis
novel-novel hiburan (karya-karya terdahulunya) ialah karena dia ketika itu
masih diselimuti oleh sistem hidup yang materialistik. Lain halnya dengan novel
terbarunya, Sanu, Infinita Kembar, yang
lebih intens dan cenderung mengedepankan persoalan spiritualitas hidup. Dalam
arti ia tidak lagi terperangkap oleh sistem hidup materialistik karena
menurutnya justru sistem di luar itulah yang lebih esensial.
Dalam kancah kesusastraan Indonesia
memang Motinggo Busye lebih dikenal sebagai pengarang pop. Kadudukannya
misalnya bisa disejajarkan dengan Titi Said, Titis Basino, Edy D. Iskandar, Ashadi
Siregar, Marga T., Yati M. Wiharja, dan lain-lain. Pengarang ini memang sangat
produktif, dan hingga kini telah menulis sekitar 200 buah buku (novel, cerpen,
puisi, dan naskah drama). Dan yang selama ini digarap adalah masalah-masalah
elementer di sekitar cinta remaja, gejolak rumah tangga, seks, dan sejenisnya
yang kurang mendalam.
Menurut H.B. Jassin, sejak
terbitnya novel Sanu, Infinita Kembar,
Motinggo Busye, yang terartikulasi lewat tokoh Sanu, sampai kepada manusia
total, sebagaimana Danarto seperti tampak dalam Adam Ma’rifat. Yang
dimaksud dengan manusia total adalah berikut. Yaitu “manusia yang mampu menjaga
keseimbangan antara diri pertama dan diri kedua. Seluruh manifestasi diri
pertama adalah infinita-ego, sedangkan diri kedua adalah infinita–kreatif.
Oleh karena itu, diri kedua infinita kembar itu dengan kreativitasnya
menjadikan dia dinamis. Dan dinamis kreatif hanya ada pada pemilik status
perimbangan, yaitu manusia total.”
Membaca novel ini kita
seolah dibawa ke alam yang tak terjamah, yang terasing. Bila kita membaca
dengan tidak mengerahkan indera keenam kita, tentu kita tidak dapat menerima
pikiran-pikiran yang irasional itu. Namun dengan pendekatan jiwa yang dalam dan
intimitas yang pekat, tentu pikiran yang terjadi menjadi hal yang sangat biasa,
bahkan sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Memang saat membaca kita
dikacaukan oleh pikiran-pikiran Sanu yang menyerupai ketidakwarasan,
penjungkirbalikan, dan kesimpangsiuran. Tetapi, sesungguhnya, bila menjelajah
secara intens kita akan sampai kepada proses pengalihan dari realitas menuju ke
kebenaran yang paling hakiki. Oleh karena itu, dengan melihat pengalaman Sanu,
seolah di benak kita timbul dugaan apakah memang itu yang dinamakan proses
menuju kebenaran mutakhir? Itukah manusia total yang dimaksud Busye? Mungkin
juga.
Sekadar untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai pikiran atau proses pengalaman Sanu, baiklah kita
ikuti secara ringkas tokoh Sanu dalam novel ini. Sanu adalah seorang seniman
yang pada waktu itu kehilangan ruang-gerak dalam dunia seni sebab dirinya
dituduh sebagai kontrarevolusioner. Karena zaman dikuasai orang–orang Lekra dan
Komunis, sementara seniman penganut Humanisme Univeral atau Manifes Kebudayaan
(Manikebu) menjadi bulan-bulanan politik, maka Sanu yang tergolong sebagai
seniman Manikebu dituduh menentang konsep kesenian orang Lekra (Komunis).
Karena itulah, Sanu merasa ketakutan, termasuk seniman-seniman lain yang
sepaham.
Usaha untuk menghindari
kecaman politik tersebut, Sanu memilih jalan keluarnya sendiri. Ia mempelajari
ilmu menghilang yang menurutnya seperti Pangeran Diponegoro pada waktu akan
ditangkap Belanda. Bahkan, di luar dugaan, ternyata Sanu bercita-cita akan
pergi ke dunia di luar atmosfer, yaitu di ruang statosfer. Namun, karena dunia
itu hanya sia-sia dan impian belaka, maka ia mempelajari berbagai ilmu yang
konon telah diajarkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Muhammad, Yesus,
filsuf-filsuf, dll.
Meskipun begitu, Sanu
sesungguhnya tidak sampai ke mana-mana, melainkan sampai kepada penemuan atas
dirinya sendiri. Dan justru itulah yang penting. Sebab, dia yakin bahwa di
samping di sini ada diri sendiri, masih ada lagi diri yang lain yang lebih
dalam. Maka, dalam dirinya ada sesuatu yang ganda, dan sesuatu yang ganda itu
tidak pernah saling kompromi sebab seakan sudah ditakdirkan untuk saling
memberontak. Itulah yang disebut aku-ego dan aku-kreatif. Ego
adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang negatif, sedangkan kreatif
adalah pilihan jalan menuju ke kebenaran hakiki. Itulah infinita Sanu dalam
satu jazad.
Dalam dunia realitas ini
Sanu selalu berbuat dan selalu ingin menegakkan infinita yang kedua, yaitu yang
kreatif. Karena itu, meski dia tergoda oleh beraneka macam hal, yang tentu
disetir oleh infinita ego-nya, dia tetap bertahan meskipun dengan susah
payah menghadapinya. Dan setelah sampai pada puncak Sanu dianggap gila. Namun,
justru karena itulah Sanu merasa mencapai tingkat yang tinggi. Ia sadar betul,
selama yang dilakukan hanyalah hal-hal yang bersifat duniawi, belumlah ia
mencapai apa yang disebut haqqulyaqin, belum menuju ke keyakinan kepada Yang
Maha Tinggi, Yang Maha Sempurna.
Akhirnya, Sanu menyadari
bahwa ternyata sejarah besar zamzan adalah sejarah yang telah menciptakan
sistem-sistem. Sistem-sistem itu, sebagaimana kapitalisme, marxisme, atau yang
lain, hanyalah mencapai tahap ainulyaqin dan
ilmulyaqin, belum sampai kepada haqqulyaqin. Karena itu, Sanu ingin
mencapainya. Dan mungkin Motinggo Busye-lah yang ingin mencapai itu semua.
Dilihat
sepintas novel ini tak begitu mudah dipahami. Untuk menangkap amanat dan atau
moralnya perlu kejelian wawasan, pengalaman, dan kedalaman jiwa sebab di
dalamnya penuh dengan renungan-renungan falsafi. Dan agaknya semua itulah yang
dikatakan sebagai proses menuju ke sesuatu yang haqqulyaqin, Yang Maha Tinggi. Sementara itu, manusia total,
sebagaimana terdapat dalam status perimbangan antara diri pertama dan diri
kedua, menjadi tujuan untuk mencapai spiritualitas hidup manusia. Bila telah
berhasil menyeimbangkan dua hal yang terdapat dalam dirinya, berarti manusia
telah berada dalam proses menuju perimbangan Ilahiyah, yaitu proses pencarian diri sekaligus Tuhannya.
Demikian pula Sanu, dalam
segala usahanya ingin mencapai puncak spiritualitasnya. Karena itu, ia pantang
ambisi, tidak ingin sesuatu yang lebih, tetapi ingin hal yang biasa. Sebab, ia
sadar bahwa “segala sesuatu dalam perjalanan singkat di dunia ini harus
dirasakan sebagai tindak-tindak biasa.” Namun apa yang dilakukan? “Sanu hanya
mencari diri sendiri, tak lebih dari itu (hlm. 68). Dan akhirnya, Sanu, atau
bahkan kita semua, sepakat untuk berpendapat bahwa segala bentuk formalitas,
pangkat, dan sejenisnya “harus lebur jua dalam ujud pre destination. Manusia harus merendah kepada hukum kekal ilmu
fisika yang senantiasa berbentuk elips sebagai kesatuan harmoni semesta. Dan
elips itu berbentuk piramid (hlm. 89). Garis horisontal diisi oleh partikel
manusia, sedangkan penyatuan garis horisontal untuk menuju vertikal adalah
suatu proses menuju spiritualis hidup manusia, yang dalam hal ini menuju ‘Ke-Esa-an’
Tuhan.
Demikian selintas konsep
spiritualitas Motinggo Busye dalam novel Sanu,
Infinita Kembar. Kalau kita mencoba melacak karya-karya lainnya, kita dapat
menjumpai hal yang sama, misalnya dalam salah satu cerpennya yang berjudul
“Mata” (Horison, Juli 1986). Cerpen tersebut juga mengungkap
masalah yang berkaitan dengan kenyataan bahwa dewasa ini masih banyak terjadi
pertentangan antara kebenaran dan kezaliman. Bukan suatu kebetulan bahwa
manusia yang masih dikuasai oleh aku-ego-diri-nya akan selalu berusaha
meruntuhkan kesucian, berusaha mencaplok kebenaran. Dengan cerpen dan novelnya
ini agaknya Motinggo Busye ingin meyakinkan kita (pembaca) bahwa kehakikian
hidup manusia harus selalu ditegakkan dan kebenaran totalitas-lah yang harus
memimpin diri manusia. *** Suara
Karya, 7 Juni 1987