Korrie Layun Rampan (1953--2015): Tak Henti-Hentinya Buku Sastra Mengalir dari Tangannya
Monday, December 12, 2016
Edit
Siapa
pun yang terjun ke dunia sastra Indonesia, barangkali tak ada yang tak kenal
nama Korrie Layun Rampan. Betapa tidak! Pengarang dengan segudang predikat
(penyair, cerpenis, novelis, esais, kritikus, penulis cerita anak, penerjemah)
yang telah mengembara ke dunia sastra lebih dari 36 tahun ini telah menulis 334
buku (58 novel, 62 kumpulan cerpen, 8 kumpulan puisi, 42 buku esai/kritik, 50
cerita anak, 7 buku teks/kamus, 7 antologi, dan 100-an cerita terjemahan).
Hingga kini (sejak 1971), tak henti-hentinya buku sastra mengalir dari
tangannya. Bahkan, meski telah duduk sebagai Ketua Komisi I DPRD Kabupaten
Kutai Barat (Kaltim) Periode 2004---2009, ia pun tak berhenti menulis.
Secara
fisik Korrie lahir di Samarinda (Kaltim), 17 Agustus 1953, dari pasangan Paulus
Rampan (ayah) dan Martha Renihay Edau Rampan (ibu). Masa kanak-kanak dan
remajanya, juga masa pendidikan dasar dan menengahnya, dilakoni di kota
kelahirannya. Tetapi, secara profesi ia lahir dan besar di Malioboro (Yogya).
Sebab, setamat SMA (1970) ia hijrah ke Yogya bergabung dengan PSK (Persada
Studi Klub) --sebuah komunitas sastra asuhan Umbu Landu Paranggi -- yang
bermarkas di Malioboro. Di Yogya ia memang kuliah di Jurusan Ilmu Keuangan dan
Perbankan sampai sarjana muda, kemudian masuk Jurusan Publisistik sampai
sarjana. Tetapi, di tengah kesibukan kuliah (1971--1977), ia justru suntuk
belajar menulis sastra bersama rekan-rekan PSK (Emha Ainun Najib, Linus
Suryadi, Ragil Suwarno, Iman Budi Santosa, dan masih banyak lagi).
Di Yogya
Korrie hanya sekitar 7 tahun. Sebab sejak 1978 pindah ke Jakarta. Tetapi, dalam
waktu singkat itu ia begitu cepat belajar dan cepat menjadi besar. Bayangkan,
tak lama setelah bergabung dengan PSK (1971), sejumlah puisi, cerpen, dan
esainya menghiasi sekian banyak media. Lalu buku-bukunya pun segera lahir: Matahari
Pingsan di Ubun-Ubun (puisi, 1974); Cermin Sang Waktu (puisi, 1976);
Sawan (puisi, 1978); Malam Putih (cerpen, 1978); Upacara
(novel, 1978); dll. Dan novel Upacara-lah yang membuat dirinya jadi
"besar" sebab novel berwarna lokal suku Dayak (Kalimantan) itu
memperoleh hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1976.
Di
Jakarta Korrie kian kreatif-produktif. Di tengah kesibukannya sebagai editor
Penerbit Cypress (1978-1980), wartawan Sinar Harapan (1980-1982),
redaktur majalah Sarinah (sejak 1982), pemimpin Yayasan Arus, pengasuh
ruang sastra di RRI, dan pengelola "Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layun
Rampan", sekian bukunya pun terus lahir: Kekasih (cerpen, 1981); Suara
Kesunyian (puisi, 1981), Nyanyian Kekasih (puisi, 1981); Perjalanan
Guru Sejarah (cerpen, 1983); Puisi Indonesia Kini (esai, 1980); Cerpen
Indonesia Mutakhir (esai, 1980); Perjalanan Sastra Indonesia (esai,
1983); Suara Pancaran Sastra (esai, 1984); Kritik Sastra Indonesia
Mutakhir (esai, 1984); Wajah Sastra Indonesia (esai, 1984); Sajak-Sajak
Cinta Rendra (1984); Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra (esai,
1984); Nyanyian Ibadah (puisi, 1985); Jejak Langkah Sastra Indonesia
(esai, 1986); Matahari Makin Panjang (cerpen, 1986); Perhiasan Bumi
(cerpen, 1986).
Riwayat
kreatif Korrie memang meng-herankan. Tentu kita bertanya kapan dia menulis.
Sebab, sebagai redaktur Sarinah (merangkap Direktur Keuangan hingga
akhir 2000), tentu ia sangat sibuk. Apalagi juga masih sering diminta ceramah,
mengajar, siaran di TVRI, mengedit buku di penerbit, menerjemahkan, dll. Mung-kinkah
ia punya "tangan seribu?". Tentu tidak. Tapi, yang jelas bukunya
terus mengalir: Per-hiasan Bulan (cerpen, 1988); Ratapan (cerpen,
1989, cet ke-9, 1995); Undangan Sahabat Rohani (puisi, 1991), Apresiasi
Cerita Pendek 1 dan 2 (esai, 1991), Perhiasan Matahari (cerpen,
1991); Hitam (cerpen, 1993); Tak Alang Kepalang (cerpen, 1993); Api
Awan Asap (novel, 1999); Wanita Penyair Indonesia (esai, 1997), Aliran
Jenis Cerita Pendek (esai, 1999); Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia
(antologi, 2000), Kembang Mayang (antologi, 2000), Dunia Perempuan
(antologi, 2002), Wanita di Jantung Jakarta (novel, 2000); Rawa
(cerpen, 2000); Lingkaran Kabut (novel, 2000); Perawan (novel,
2000); dan Leksikon Sastra Indonesia (2000). Dan novel Api Awan Asap
memenangkan hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1998.
Sejak
2001 Korrie menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi Sentawar Pos di
Barong Tongkok, Kutai Barat, Kaltim. Kesibukannya pun bertambah karena juga
mengajar di Universitas Sendawar di Melak, Kutai Barat. Lebih-lebih ketika
dipercaya pula sebagai anggota Panwaslu dan kemudian menjadi Ketua Komisi I
DPRD Kutai Barat. Namun hal itu tak menghalangi waktunya menulis, terbukti
buku-bukunya terus mengalir: Bunga (novel, 2002), Sendawar
(novel, 2003), Tarian Gantar (cerpen, 2002), Tamiang Layang
(cerpen, 2002), Sejarah Sentawar (studi, 2002), Lamin Ditinjau dari
Sudut Sosiologi dan Antropologi (studi, 2003), Acuh Tak Acuh
(cerpen, 2003), Wahai (cerpen, 2003), Riam (cerpen, 2003), Perjalanan
Ke Negeri Damai (cerpen, 2003), Teluk Wengkay (cerpen, 2003), Percintaan
Angin (cerpen, 2003), Melintasi Malam (cerpen, 2003), Sayu
(cerpen, 2004), Wanita Konglomerat (cerpen, 2005), Nyanyian Lara
(cerpen, 2005), Rindu (cerpen, 2005), Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia
(esai, 2005), Upacara Bulan (puisi, 2006), dll.
Seperti
telah disebutkan, Korrie telah menulis sekitar 334 buku. Tapi buku itu memang
belum semua terbit. Tahun ini (2007) yang sudah di-acc penerbit ada 17 judul
dan 6 judul buku lama dipesan proyek pemerintah. Novel yang masih dalam
persiapan terbit: Matahari, Matahari Sentawar, Lius Emas, Keluarga Rinding,
Ber-darah-darah, Lenggang Kangkung, Aib, Arus Sungai Nyuatan, Merajalela,
Kewangkay, Arus Waktu, Langkah Kanan, Langkah Kiri, Negeri di Bawah Angin, Ngah
Ngoh, Anjing Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, Tamiang Layang, Pontang
Panting, Lagu dari Negeri Damai, Lingkaran Memutar, Upacara Pohon Bulan, Amit-Amit
Jabang Bayi, Tangisan, Hitam Bintik-Bintik Putih, Merah Bintik-Bintik Ungu,
Sejajar Warna Kelabu, Tertawa, Matahari di Atas Teluk, Lautan Waktu, Lembah
Papa, Angin Teluk Balikpapan, Titian Waktu, Semboyan, Perusuh, Bubar, Saksi,
Pelecehan, Jejak yang Kembali, Daun-Daun dalam Angin, Kedaulatan, Kasus, Melak,
Seleret Awan di Atas Kota, Nyaris, Jantur Lagey, Kelian, Sarang Emas, Emas
Hijau, Tambang, dan Dupa.
Sementara
kumpulan cerpen yang siap terbit: Kayu Naga, Bentas Babay, Penari dari
Rinding, Dongeng Angin Belalang, Kejam, Daun-Daun Bulan Mei, dan Senyum
yang Kekal. Dan yang masih dalam persiapan: Pada Saat Matinya Buaya,
Hernawati, Tertawa, Wesel untuk Mayat, Banjarmasin Kota Tercinta, Matinya Politikus
Lokal, Permainan Malam, Sunyi, Rumah Malam, Wanita Berselendang Pelangi,
Seleret Awan di Atas Kaltim, Perampokan di Rimba Malam, Sungai Waktu, Tarian
Hudoq, Daun-Daun Bulan Juli, Pesta di Negeri Lapar, Korupsi di Negeri Busung
Lapar, Negeri di Bawah Pusaran Angin, Pernikahan Dingin, Tarian Sakaw, Tarian
Rinding, Teluk Dalam, Pusaran Waktu, Matinya Penari Belian, Matinya Penjudi
Ulung, Jejak di Atas Air, Helena, Kutukan, Suara dari Seberang Sungai, dan
Menggeleng.
Sedangkan
buku esai/kritik dan antologi yang siap terbit: Apresiasi Cerpen Indonesia
Mutakhir (2 jilid), Sastrawan Indonesia (10 jilid), Pembicaraan
Puisi Indonesia (6 jilid). Dan yang sedang dipersiapkan ialah: Tokoh
Cerpen Indonesia, Tokoh Drama Indonesia, Tokoh Novel Indonesia, Tokoh Puisi
Indonesia, Tokoh Esai Indonesia, Wanita Pengarang Indonesia, Cerpen Indonesia
(4 jilid), Warna Lokal Sastra Indonesia, Sastra di Tengah Eufora, Sastra
Sebuah Dunia yang Aneh, Sunyi, Manakjubkan (3 jilid), Surat-Surat
Sastra, Surat kepada Penyair, Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia,
Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (buku 2 dan 3), dan Sajak Rendra
dan Angkatan 80.
Selain
itu, buku sastra anak (prosa/puisi) yang terbit: Pengembaraan Tonsa Si Posa
(1981), Nyanyian Tanah Air (1981), Nyanyian Nusantara (1983), Lagu
Rumpun Bambu (1983), Sungai (1985), Pohon Raksasa di Rimba Raya
(1985), Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985), Tokoh Terkemuka dari
Kalimantan (1994), Nyanyian Pohon Palma (1994), Namaku Paku
(1994), Aku untuk Hiasan (1996), Keluarga Kura dan Penyu (1996), Namaku
Kakatua (1996), Mulawarman dan 29 Tokoh Kalimantan (1996), Namaku
Ikan (1996), Namaku Udang (1996), Manusia Langit (1997), Asal-Usul
Api (2002), Asal-Usul Pesut (2005), Cenderawasih Emas (1997),
Arapaima Bersama 39 Ikan Cantik Air Tawar (1997). Dan yang masih dalam
persiapan: Namaku Ular, Liur Emas, Lagu Semanis Madu, Namaku Rusa,
Bertamasya ke Batavia, Namaku Burung, Namaku Ikan Hias, Namaku Durian, Durian
Raja Segala Buah, Namaku Semangka, Namaku Nangka dan Cempedak, dan Namaku
Tumbuhan Langka.
Di
samping menulis buku-buku tersebut dan menerjemahkan cerita anak bergambar
(seri Tupai Emas) sekitar 100-an judul, Korrie juga menerjemahkan
sejumlah cerpen karya sastrawan dunia: Leo Tolstoy, Guy de Maupasant, Luigi
Pirandello, Anton Chekov, O'Henry, Knut Hamsun, Puskhin, dll yang sering dimuat
di media massa dengan nama samaran. Sebaliknya, selain sering dijadikan objek
kajian (skripsi, makalah, dll) di berbagai perguruan tinggi (terutama novel Upacara),
sejumlah karya Korrie juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia
(Inggris dll). Terakhir cerpennya "Terbakar" (dimuat Jawa Pos,
2005) diterjemahkan ke dalam bahasa Swedia.
Sementara
karya-karya puisi, cerpen, dan esainya juga dimuat pada 24 buku antologi
bersama. Di antaranya: Bulaksumur-Malioboro (1975), Laut Biru Langit
Biru (1977), Cerpen Indonesia Mutakhir (1983), Cerpen Indonesia (1986),
Tonggak (1987), Cerpen Nusantara (1992), Wanita Budaya Sastra
(1992), Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia (1985), Iwan
Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (1985), Dari Negeri Poci 2
(1994), Trotoar (1996), Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997),
Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2000), Sumber Terpilih Sejarah Sastra
Indonesia (2000), Nyanyian Integrasi Bangsa (2000), Dari Fansuri
ke Handayani (2001), Pembisik (2002), Horison Sastra Indonesia 2:
Kitab Cerpen (2002), Dua Kelamin Bagi Midin (2003), Matahari
Sabana (1983), Bingkisan Petir (2005), dan Tujuh (2005).
Berkat
aktivitas dan kreativitasnya di bidang seni-sastra, Korrie akhirnya berhasil
mengantongi 12 hadiah dan penghargaan: (1) Hadiah Lomba Penulisan Puisi IKIP
Samarinda 1969, (2) Hadiah Penulisan Resensi Buku Tifa Sastra, (3) Hadiah
Mengarang Roman DKJ 1976 atas novelnya Upacara, (4) Hadiah Mengarang
Esai Mengenang 10 Tahun Wafatnya Iwan Simatupang oleh BKKNI DKI 1980 atas
esainya Taman Iwan Simatupang, (5) Hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud
1985 atas antologi puisi anak-anak Cuaca di Atas Gunung dan Lembah, (6)
Hadiah Mengarang Esai Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1991, (7) Hadiah
Jur-nalistik Pembangunan dari Deppen atas liput-annya di Perbatasan
Kalimantan--Sarawak 1992, (8) Hadiah Sayembara Cerita Film dari Deppen 1996
atas cerita Wanita Konglomerat, (9) Hadiah Mengarang Roman DKJ 1998 atas
novelnya Api Awan Asap, (10) Hadiah Yayasan Buku Utama Depdiknas 1997
atas bukunya Manusia Langit, (11) Kaltim Post Award 2004 atas
kesetiaan, dedikasi, dan prestasi di dunia sastra selama 30 tahun, dan (12)
Hadiah Seni dari Pemerintah RI 2006.
Demikian
riwayat Korrie Layun Rampan yang selama hidup bersama istrinya (Hernawati KL
Rampan, SPd) telah dikaruniai 6 anak (Anthoni Ardhy Rampan, ST; Evita Feirin
Rampan, SH; Reina Dyaningtyas Rampan, SSos; Eliade Rinding Rampan, SE; Dayeng
Rinding Renihay Rampan; Amelia Rinding Renihay Rampan). Karena istrinya
(Hernawati KL Ram-pan) wafat, pada 30 Desember 2005 Korrie menikah lagi dengan
Hermiyana KL Rampan, SG. Kendati sibuk sebagai anggota legislatif, dosen, dan
wartawan --dan terus bolak-balik Jakarta-Samarinda-- ia masih tetap aktif
menulis bahkan kini juga mengelola "Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layun
Rampan" di Sendawar, Kutai Barat, Kaltim.
Terakhir, Korrie Layun Rampan meninggal pada 19 November 2015 di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, dalam usia 62 tahun.***
Terakhir, Korrie Layun Rampan meninggal pada 19 November 2015 di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, dalam usia 62 tahun.***