Rafilus Budi Darma: Pengungkapan Misteri Takdir
Sunday, December 11, 2016
Edit
Pada dasarnya sastra dapat
menimbulkan rasa sakit, takjub, dan syahdu. Sastra menimbulkan rasa sakit
karena pada kenyataannya kita sering melihat banyak sekali manusia yang aneh,
gila, mementingkan dirinya sendiri, dan sia-sia dalam pergumulan untuk menentukan
identitas dirinya. Sastra juga menimbulkan rasa takjub karena pada
galibnya sastra menggambarkan manusia-manusia yang terlalu baik yang mungkin
tidak terjangkau oleh kenyataan sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu
karena nostalgia pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Dan
makin baik suatu karya sastra, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa
sakit, takjub, dan syahdu. Makin baik suatu karya sastra, makin universal pula
masalah yang diungkapkan di dalamnya (cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian,
kesepian, dan sebagainya).
Demikian sinyalemen Budi Darma dalam
bukunya Solilokui (Gramedia, 1983). Sinyalemen ini tidaklah terlalu
berlebihan karena hampir seluruh karya sastra yang baik selalu mengungkapkan
masalah-masalah yang kompleks seperti kompleksnya perpaduan rasa sakit, takjub,
dan syahdu. Hanya sayangnya, kata Budi Darma, karya yang demikian di Indonesia
belum banyak. Karya-karya yang ada pada umumnya hanya mengungkapkan salah satu
dari tiga hal tersebut. Bahkan, apa yang diharapkan mengenai sastra yang
seharusnya mengungkapkan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa tampaknya juga
belum menjadi tradisi dalam penulisan sastra oleh pengarang-pengarang
Indonesia.
Konsep pemikiran di atas memang
secara konsisten dibuktikan oleh Budi Darma dalam novel keduanya Rafilus
(Balai Pustaka, 1988). Sebab, kalau kita amati lebih seksama, novel itu memang
mengungkapkan suatu persoalan yang merupakan perpaduan dari rasa sakit, takjub,
dan syahdu. Dikatakan demikian karena ambisi, angkara murka, dan keadaan
masyarakat yang tidak beres begitu ditonjolkan sehingga kita seolah dibawa ke
suatu situasi sosial yang di dalamnya penuh dengan manusia-manusia yang sakit
jiwa. Selain itu, jiwa tokoh-tokoh yang aneh, menentang logika, jungkir balik,
dan perilaku yang tidak waras juga digunakan untuk menguak sifat dasar manusia
sehingga kita takjub dibuatnya. Sementara itu, dapat dirasakan pula adanya
cerminan pengalaman pengarang tentang hidup dan kehidupan yang abstrak tetapi
mendekati kebenaran sehingga perasaan syahdu pun muncul ke permukaan.
Itulah keunikan novel Rafilus
yang sarat dengan nuansa eksperimen pikiran dan perasaan sebagaimana tampak
pula di dalam karya-karya sebelumnya (Olenka dan Orang-Orang
Bloomington). Novel Rafilus bukan semata novel pikiran, melainkan
melebihi batas rasional. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa jika ingin menjadi
pengarang yang benar-benar pengarang, begitu kata Budi Darma, orang harus mampu
memadukan man of action dan man of though (Darma, 1982). Menjadi
pengarang yang baik harus bisa mengintegrasikan pikiran dan keterlibatan
sehingga punya amunisi yang canggih, yakni bekal pengetahuan, pengalaman, dan
keterlibatan. Amunisi, keprihatinan, dan kesadaran itu akhirnya akan menjadi
semacam wawasan yang menyatu di dalam karya yang diciptakan.
Andaikata membaca dengan seksama
novel Rafilus, kita akan segera dikacaukan oleh pikiran-pikiran yang
meloncat-loncat dari peristiwa unik yang satu ke peristiwa unik lainnya.
Peristiwa yang dimunculkan itu semata datang dari abstraksi sebagaimana
keabstraksian kehidupan manusia. Hal demikian tentu mengundang pertanyaan:
mengapa musti abstraksi? Jawabnya haruslah diandaikan bahwa tujuan novel,
seperti halnya tujuan kehidupan, hanyalah berupa lingkaran abstraksi yang
terlalu sulit untuk diformulasikan dan dikonkretkan.
Hal itulah yang menimbulkan siklus
kehidupan menjadi dramatis, menjadi jungkir balik. Dan ternyata, dunia gambaran
Budi Darma yang tidak beres itu dapat dirangkum menjadi sebuah dunia
tersendiri, yaitu dunia dalam kata, dalam novel, walaupun hal itu tidak akan
pernah selesai. Itulah sebabnya, mengapa Budi Darma selalu mengumandangkan
sebuah keabstraksian hidup lewat peristiwa-peristiwa dan tindakan tokoh yang
aneh dan mengejutkan. Hal seperti inilah yang disebut novel mengatasi pikiran,
irasional, bahkan sampai pada takdir (Tuhan) yang eksistensinya sangat
misterius. Memang, makna keutuhan dan totalitas novel ini berkait erat dengan
upaya pengungkapan misteri sebuah takdir.
Sebagaimana dikatakannya sendiri
(dalam sebuah wawancara tertulis di Horison, Maret 1988) bahwa sebelum
dan selama menulis, Budi Darma menyaksikan dan selanjutnya mempertanyakan:
mengapa orang-orang yang berlaku baik, jujur, tidak mengumbar ambisi, nafsu,
dan bersikap nrima justru mendapat musibah, bahkan tidak berumur
panjang? Mengapa pula justru orang yang ambisius dan egois malahan mendapatkan
rahmat, kelonggaran, dan umur panjang? Inilah misteri yang selamanya tak dapat
diterjemahkan dengan logika. Mengenai hal ini, dalam novelnya Budi Darma menyatakan:
“Siapa mereka, tidak ada gunanya dia mengatakan. Apa pun yang terjadi, dia tidak mempunyai wewenang untuk menggugat ketidakadilan. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang yang tidak mempunyai otak justru dapat mengatur hidupnya sesuai dengan seleranya” (hlm. 94).
“Siapa mereka, tidak ada gunanya dia mengatakan. Apa pun yang terjadi, dia tidak mempunyai wewenang untuk menggugat ketidakadilan. Dia tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan mengapa orang-orang yang tidak mempunyai otak justru dapat mengatur hidupnya sesuai dengan seleranya” (hlm. 94).
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian Budi Darma
menyatakan:
“Dengan kemauan untuk maju, ketidakbodohan dan kekerasan kerjanya, seharusnya ia mempunyai hak untuk memperoleh harkat lebih baik. Dia tidak mempunyai fasilitas lain kecuali melata, sebab takdir sudah menentukan demikian. Dan takdir tidak dapat diperdebatkan, sebab takdir tidak mempunyai keadilan dan timbang rasa” (hlm. 94). Ungkapan itulah yang disampaikan lewat tokoh Pawestri kepada Tiwar (si aku, narator) yang pada saat itu Tiwar sedang mengalami berbagai konflik dalam menghadapi bayang-bayang Rafilus.
“Dengan kemauan untuk maju, ketidakbodohan dan kekerasan kerjanya, seharusnya ia mempunyai hak untuk memperoleh harkat lebih baik. Dia tidak mempunyai fasilitas lain kecuali melata, sebab takdir sudah menentukan demikian. Dan takdir tidak dapat diperdebatkan, sebab takdir tidak mempunyai keadilan dan timbang rasa” (hlm. 94). Ungkapan itulah yang disampaikan lewat tokoh Pawestri kepada Tiwar (si aku, narator) yang pada saat itu Tiwar sedang mengalami berbagai konflik dalam menghadapi bayang-bayang Rafilus.
Hal-hal yang secara implisit
mengungkapkan persoalan misteri kehidupan tersebut dapat dilacak lewat berbagai
peristiwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh, di antaranya tokoh Munandir, seorang
upas pos. Kendati selama ini Munandir telah bekerja dengan rajin, tekun, dan
keras, ia tetap tidak pernah memperoleh kebahagiaan karena ternyata semua hal
yang dilakukannya selalu sial. Demikian juga kesialan Pawestri yang tidak
pernah tercapai cita-citanya untuk mempunyai anak. Namun, sebaliknya, tokoh
bernama Jumarub, seorang yang kaya raya dan dengan tipu dayanya selalu membuat
orang lain hancur, atau si Van der Klooning dan Jan van Kraal yang tidak pernah
jera menindas orang-orang kecil, malahan semakin jaya dan kaya, bahkan semakin
terhormat.
Hal lain yang perlu dicatat ialah
bahwa berkat novel Rafilus kedudukan Budi Darma sebagai sastrawan yang
punya gaya dan ciri khas semakin kokoh. Gaya dan ciri khas Budi Darma yang
membedakannya dengan para pengarang lain adalah kegemarannya menampilkan
tokoh-tokoh yang keras, kejam, tanpa perikemanusiaan tetapi jujur, dan
memanfaatkan bahasa yang bernuansa keras, lepas dari eksotisme, dan
penyajiannya yang sangat detail. Hal yang membedakannya dengan karya-karya
sebelumnya adalah perspektif cerita dan, seperti diakuinya sendiri, bahwa
sesungguhnya Rafilus adalah novel tentang penulisan novel.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Jawabannya dapat ditelusuri melalui kesaksian tokoh Tiwar terhadap sosok
Rafilus. Kesaksian itulah yang kemudian memerangkap pikiran dan otak Tiwar
sehingga segala tingkah laku dan tindakannya selalu dibayangi oleh kehadiran
Rafilus. Rafilus adalah seorang pengarang (novelis), dan untuk menelusuri bagaimana
proses Rafilus mengarang, pikiran dan otak Tiwar terseret ke dalam proses itu
sendiri. Oleh karena itu, di situ terjadi proses dua kali karena novel Rafilus
mengungkapkan proses Rafilus mengarang novel yang berjudul Bambo.
Demikian kesan terakhir ketika kita
membaca Rafilus karya Budi Darma. Jika dilihat komposisi atau
strukturnya, agaknya novel ini sedikit menyusahkan. Paling tidak, jika hendak
mengungkap seluruh aspeknya, baik stilistik maupun tematiknya, mestilah kita
berbekal pengetahuan yang cukup, tidak terkecuali pengetahuan tentang
teori-teori (apresiasi) sastra. ***
Kedaulatan
Rakyat, 27 November 1988.