R. Intojo: Bapak Soneta dalam Sastra Jawa Modern
Monday, December 12, 2016
Edit
R. Intojo lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal
27 Juli 1912. Pendidikan dasarnya, HIS (Holland
Inlandsche School), diselesaikan di kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Setelah tamat dari HIS, R. Intojo kemudian melanjutkan studi ke HIK (Holland Inlandsche Kweek School) di kota
Blitar. Akan tetapi, pada tahun 1930, dengan alasan kondisi kesehatannya buruk,
ia pindah ke HIK di Gunungsari, Lembang, Bandung, dan baru selesai pada tahun
1933. Setamat dari HIK di Lembang, ia kemudian menjadi guru dan mengajar di
sebuah sekolah bernama Perguruan Rakyat di Bandung.
Namun, tidak lama kemudian, ia pindah dan mengajar di
Sekolah Mardi Siswa di Blitar, Jawa Timur. Bahkan, di Blitar pun tidak lama
pula karena sejak tahun 1938 ia pindah lagi dan mengajar di HIK Rangkasbitung,
Sumatra. Tidak diketahui dengan jelas apakah Intojo turut berjuang dalam Perang
Kemerdekaan atau tidak. Yang jelas bahwa pada awal tahun 1960-an ia pergi ke
luar negeri dan menjadi pengajar bahasa Indonesia di sebuah sekolah di Rusia
(Uni Soviet) dan akhirnya meninggal di sana pada tahun 1965. Tidak diketahui
pula apakah kepergiannya ke negara Rusia itu bersangkut-paut dengan peris-tiwa politik atau
tidak.
Karier kepenyairan R. Intojo dimulai pada tahun 1932
ketika masih sekolah di HIK di Lembang, Bandung. Karier itu kemudian berkem-bang sejak
terbitnya (pertama) majalah Pujangga Baru
(Juli 1933). Itulah sebabnya, di dalam khazanah sastra Indonesia, ia
disebut-sebut seba-gai salah seorang tokoh Pujangga Baru. Di dalam
bersyair (menulis puisi), dan itu terbukti di dalam beberapa sajak yang telah
dipublikasikan dalam majalah, ia sering menggunakan nama samaran, di antaranya Rhamedin, Heldas, Hirahamra, Ibnoe Sjihab,
Imam Soepardi, dan Indera Bang-sawan.
Hingga sekarang tetap tidak diperoleh keterangan yang
meyakinkan apakah nama Intojo tersebut nama asli atau justru nama samaran. Di-katakan demikian
karena beberapa buku sumber yang diperoleh menyatakan hal yang berbeda-beda.
Dalam buku antologi susunan Jus Badudu dkk. (1984), misalnya, disebutkan bahwa
nama asli Intojo adalah Rhamedin, sedangkan dalam buku-buku lain disebutkan
bahwa Intojo adalah nama asli. Beberapa nama samaran tersebut di-gunakan ketika ia
menulis karya (sajak) berbahasa Indonesia, sementara di dalam karya-karya (geguritan) berbahasa Jawa ia secara
konsisten menggunakan nama Intojo.
Dalam khazanah penulisan puisi Indonesia dan Jawa modern,
R. Intojo mulai aktif menulis sajak pada masa Pujangga Baru (sejak 1933) dan
berhenti pada masa menjelang Jepang datang ke Indonesia (1941). Disebut
demikian karena pada masa Jepang (1942--1944), lebih-lebih setelah Indonesia
merdeka (sejak 1945), sama sekali tidak dijumpai karya-karyanya. Kendati
demikian, tidak berarti bahwa ia tidak aktif lagi di bidang seni-budaya,
khususnya sastra (puisi). Hal itu terbukti, kendati tidak lagi menulis sajak,
ia masih sempat menulis esai dalam berbagai majalah.
Salah satu esainya tentang penyair dan karyanya berjudul
“Amir Hamzah dan Chairil Anwar”, dipublikasikan dalam majalah Indonesia, No. 10, Thn. II, Juni 1951.
Esai tersebut berisi kupasan tentang sajak-sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Selain itu, ia juga menulis esai berjudul “Pantun” yang dimuat dalam majalah Indonesia, No. 4 dan 7, Thn. III, 1952.
Beberapa esai yang lain dimuat dalam rubrik “Sudut Bahasa” majalah Nasional antara tahun 1952--1953.
Dalam salah satu esainya yang dimuat di majalah Nasional (Desember 1952) Intojo antara
lain membicarakan bentuk dan corak sajak-sajak penyair Muhammad Yamin dalam Jong Sumatra dan kecenderungan
pembaharuan puisi Indonesia. Katanya, bentuk dan corak sajak M. Yamin jelas
bersifat baru, tidak lagi bentuk pantun dan syair. Ia kemudian juga memberi
beberapa contoh-contoh percobaan mengenai pola, pemakaian aso-nansi, sanjak
dalam, dan sejenisnya. Percobaan yang dilakukan M. Yamin ini kemudian diikuti
oleh Rustam Effendi dan Sanusi Pane. Bahkan, tidak hanya itu, yang bersifat
baru juga tampak pada semangatnya, yaitu rasa nasionalisme yang mula-mula hanya
rasa kebangsaan daerah. Itulah isi salah satu esai yang ditulis R. Intojo.
Sementara itu, sajak-sajak R. Intojo, sang penyair
Pujangga Baru ini, telah dipublikasikan dalam berbagai media massa, terutama
majalah. Karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia pada awalnya
diterbitkan dalam Semangat Pemuda,
Pedoman Masyarakat, Panji Islam, Almanak Perguruan, dan Pujangga Baru. Saat ini, karya-karya yang berbahasa Indonesia
dapat dijumpai dalam buku Puisi Baru
(1954) susunan Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan
Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an (1984) susunan Jus Badudu
dkk., dan Tonggak I (1987) susunan
Linus Suryadi A.G.
Sementara itu, karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa
yang semula diterbitkan dalam majalah Kejawen
kini dapat ditemukan di dalam buku Antologi
Puisi Jawa Modern 1940--1980 (1984) susunan Suripan Sadi Hutomo. Corak
penulisan sajak yang berbentuk soneta itulah yang pada masa selanjutnya ditiru
oleh beberapa penyair Jawa lainnya, di antaranya Subagijo Ilham Notodijoyo
(SIN); hal ini antara lain tampak dalam sajak “Gelenging Tekad” ‘Kebulatan Tekad’ yang telah dimuat dalam majalah
berbahasa Jawa Panyebar Semangat, No.
20, Thn. IX, 12 Juli 1949. Karena itu, oleh beberapa ahli, di antaranya Suripan
Sadi Hutomo, R. Intojo dianggap sebagai Bapak Soneta dalam sastra Jawa modern.
Secara keseluruhan, sajak-sajak (sejauh dapat dijangkau)
karya R. Intojo, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa,
dapat diinventarisasikan sebagai berikut. Sajak yang berbahasa Indonesia
berjumlah 17 buah, yaitu “Cend’ra Durja” (Semangat
Pemuda, Mei 1932, Pujangga Baru, Agustus 1937), “Zaman yang Mulia” (Semangat Pemuda, 15 Agustus 1932, Pujangga
Baru, Desember 1937), “Pulau Bali” (Pujangga
Baru, Mei--Juli 1933), “Ibu ...” (Pujangga Baru, Mei--Juli 1933),
“Kemegahan Kita di Zaman Bahari” (Pujangga
Baru, Agustus 1937), “Kalau Hanya” (Pedoman
Masyarakat, 31 Oktober 1936), “Nasib Nelayan” (Pedoman Masyarakat, 31 Januari 1936), “Oh, Nasib ...!” (Panji Islam, 15 Oktober 1937), “Di Mana
Tempat Cinta Sejati...?” (Pujangga Baru,
Maret 1937), “Rasa Baru” (Pujangga Baru,
April 1937), “Air Kecil” (Pujangga Baru, April
1937), “Mengembara Beta ...” (Pujangga
Baru, September 1937), “Wetenschap” (Pujangga
Baru, Maret 1937), “Untuk Pujangga Baru” (Pujangga Baru, Februari 1938), “Nasib” (Pujangga Baru, Agustus
1938), “Gua” (Pujangga Baru, April
1939), “Roebajat” (Almanak Perguruan,
Taman Siswa, 1941). Sementara itu, sajak yang berbahasa Jawa hanya 4 buah,
yaitu “Dayaning Sastra” ‘Daya Sastra’
(Kejawen, 1 April 1941), “Kawruh” ‘Pengetahuan’ (Kejawen, 15 April 1941), “Kaendahan” ‘Keindahan’ (Kejawen, 26 September 1941), dan “Wayangan” ‘Bayangan’ (Kejawen, 4 November
1941).
Di samping menulis puisi (sajak/guritan) dan esai seni-sastra, seperti telah disebutkan di atas, R.
Intojo juga aktif dalam berbagai kegiatan diskusi mengenai persoalan sosial-budaya
pada umumnya. Pada tanggal 26--27 April 1952, misalnya, R. Intojo mengikuti
sebuah kegiatan simposium yang diselenggarakan di Jakarta oleh para seniman
kelompok Gelanggang yang bekerja sama dengan berbagai lembaga kebudayaan
seperti Lekra, Liga Komponis, PEN-Club
Indo-nesia, dan
Pujangga Baru. Dalam simposium tersebut, bersama-sama dengan tokoh lain
seperti Sutan Sjahrir, J. Ismael, Slamet Imam Santoso, Moh Said, Tan Goan Po,
Sjafruddin Prawira-negara, Sutan Takdir Alisjahbana, Bujung Saleh,
Darsono, S. Dharta, Achdiat Kartamihardja, dan sebagainya, ia membicarakan
berbagai masalah “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Kertas kerja
atau makalah dan berbagai tanggapan dalam simposium tersebut kemudian
diterbitkan dalam buku Symposion
(Balai Pustaka, 1953). ***
Telah dimuat HORISON/ KAKILANGIT, Juni 2002, hlm.
3--13.