Proses Kreatif Korrie Layun Rampan: Saya Yakin Mampu Menjadi Pujangga
Monday, December 12, 2016
Edit
Seperti
terbaca pada riwayat hidupnya, sebagai sastrawan Korrie Layun Rampan lahir dan
besar di Yogya saat kuliah dan bergabung dengan PSK asuhan penyair Umbu Landu
Paranggi. Tetapi, sebenarnya, kelahiran dan kebesaran Korrie di Yogya tidak
terlepas dari sejarah panjang proses kreatifnya sejak kecil di tanah
kelahirannya (Samarinda). Sebab, ia mengaku, pada usia 2,5--3 tahun telah
lancar membaca, dan sejak usia 8 tahun telah mulai menulis. Pada saat itu ia
menulis naskah drama dan naskah tulisan tangan itu hendak dipentaskan di dalam lamin.
Namun, pentas itu akhirnya gagal karena orang-orang lamin bingung sebab
yang dihadapi bukan upacara balian. Entah apa judul naskah drama itu
kini ia sendiri lupa.
Menulis naskah drama pada usia 8 tahun tidaklah mungkin dapat dilakukan jika ia bukan anak genius. Kegeniusan Korrie kecil terbukti SD hanya diselesaikan 4 tahun (September 1960--Juni 1964). Bahkan, seharusnya hanya 3 tahun, sebab saat kelas 5 ia diperkenankan ikut ujian akhir SD; anehnya, hanya ia yang lulus. Tapi, ia tidak memanfaatkan kelulusan itu, dan ia ingin mera-sakan duduk di kelas 6. Barangkali bukan suatu kebetulan, di rumah, sang ayah punya perpus-takaan kecil, dan itulah yang menunjang kelan-caran, kegemaran baca-tulis, dan kegeniusan Korrie. Dan pada saat kelas 5 dan 6 ia telah membaca sekian banyak buku sastra, antara lain karya Hamka, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Suman Hs, HB Jassin, dll. Dan kebiasaan membaca itu pun diteruskan saat SMP (1964--1967) dan SMA (1968--1970), bukan hanya membaca karya sastra Indonesia tapi juga karya sastra dunia.
Menulis naskah drama pada usia 8 tahun tidaklah mungkin dapat dilakukan jika ia bukan anak genius. Kegeniusan Korrie kecil terbukti SD hanya diselesaikan 4 tahun (September 1960--Juni 1964). Bahkan, seharusnya hanya 3 tahun, sebab saat kelas 5 ia diperkenankan ikut ujian akhir SD; anehnya, hanya ia yang lulus. Tapi, ia tidak memanfaatkan kelulusan itu, dan ia ingin mera-sakan duduk di kelas 6. Barangkali bukan suatu kebetulan, di rumah, sang ayah punya perpus-takaan kecil, dan itulah yang menunjang kelan-caran, kegemaran baca-tulis, dan kegeniusan Korrie. Dan pada saat kelas 5 dan 6 ia telah membaca sekian banyak buku sastra, antara lain karya Hamka, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Suman Hs, HB Jassin, dll. Dan kebiasaan membaca itu pun diteruskan saat SMP (1964--1967) dan SMA (1968--1970), bukan hanya membaca karya sastra Indonesia tapi juga karya sastra dunia.
Ada
peristiwa unik yang membuat Korrie yakin akan dapat meraih cita-cita di masa
depan. Ketika itu, saat kelas 5 SD (1963), oleh kakaknya ia diminta
mengantarkan beberapa sapi (bersama orang upahannya) dengan kapal sungai kepada
saudagar yang jauhnya lebih dari 500 kilometer. Membayangkan betapa jauh dan
akan memakan waktu berhari-hari, ia membawa beberapa novel pinjaman, di
antaranya Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka. Sambil berbaring
di tengah rakit yang beratap kajang ia membaca novel itu dengan
berlinang air mata karena ikut merasakan kesedihan tokohnya (Zainuddin dan
Hayati). Tepat pada puncak kesedihan itulah, tiba-tiba rakit terguncang,
kandang sapi hampir roboh, dan sapi-sapi pun hampir kabur akibat ditabrak kapal
lain di sebuah teluk. Untunglah keadaan segera bisa diatasi. Meskipun pakaian
basah kuyup, buku-bukunya bisa diselamatkan. Setelah berurusan dengan pihak
kepolisian, rakit dapat dihanyutkan dan kapal dapat meneruskan perjalanan ke
hulu.
Peristiwa
tragis dan juga berkat pemba-caan novel karya Hamka yang menyedihkan itulah
yang, menurut Korrie, meyakinkan dirinya bahwa suatu saat nanti ia akan mampu
menjadi pujangga. "Kalau Hamka bisa menulis hal-hal sensitif yang mampu
menguras air mata, saya juga yakin kalau saya akan bisa menulis seperti
dia," katanya. Dan keyakinan serta cita-cita itu kian hari kian menguat,
lebih-lebih setelah hijrah ke Yogya dan bertemu dengan sejumlah sastrawan
seperti Umbu, Emha, Linus, Ragil Suwarna, dll. "Setelah saya berteman
dengan mereka, saya benar-benar memiliki keyakinan yang kuat dan teguh bahwa
saya akan mampu menjadi pujangga," katanya dalam surat tanggal 21 April
2007.
Berkat
keteguhan dan keyakinan itulah, selanjutnya Korrie berjuang keras dengan cara
terus menulis. Akibat didorong oleh keinginan yang kuat untuk meraih cita-cita,
akhirnya dalam dirinya muncul suatu keputusan bahwa menulis harus menjadi
sebuah kebiasaan, sekaligus menjadi sebuah tantangan dan pertaruhan. Sebab,
kalau tidak ditantang dan dipertaruhkan, sebuah keyakinan tidaklah akan dapat
diwujudkan. Karena itu, ia tak pernah jera walau tulisannya sering ditolak
koran, majalah, atau penerbit; tak jera mengikuti lomba walau kalah; dan tak
pernah jera pula walau karya-karyanya mungkin dinilai buruk oleh publik
pembaca. Yang ada di dalam benaknya hanyalah menulis dan menulis karena menulis
(puisi, prosa, esai) merupakan kebutuhan jiwa untuk berkomunikasi,
bereksplorasi, dan berinovasi pikiran serta gagasan baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dengan cara yang sederhana, efisien, namun estetis.
Menurut
Korrie, bila ingin menjadi penga-rang (sastrawan), seseorang haruslah mempunyai
nyali dan keberanian. Nyali dan keberanian itu bisa muncul dari dalam diri atau
berkat dorongan orang lain. Dengan mencontohkan dirinya sendiri, pada awal
terjun ke dunia kepengarangan, ia lebih banyak menulis puisi dan hanya berani
mengi-rimkan ke media-media lokal. Sebab, ia merasa media nasional hanya untuk
penulis yang sudah jadi atau mapan. Ketika di Yogya (1970-an), misalnya, pada
awalnya ia hanya berani mengirim karyanya ke Pelopor, Eksponen, Suluh
Marhaen, dan Mercu Suar. Tetapi, karena pada saat itu ada seorang
kawan (Arwan Tuti Artha) menunjukkan amplop berisi sejumlah puisi yang diretour
majalah Horison, ia kemudian merasa tertantang atas peristiwa
pengembalian itu. Ia lalu segera menulis dan mengetik sejumlah puisi, sketsa,
cerpen, esai, dll dan kemudian mengirimkannya ke berbagai media nasional.
Dan
tanpa diduga, beberapa puisinya kemudian muncul di Sinar Harapan,
beberapa sketsa dan cerpennya nampang di Horison, kemudian di Kompas,
dan beberapa resensi buku muncul di Budaya Jaya. Dan tanpa diduga pula,
sejak saat itu, Korrie merasa dibaptis sebagai sastrawan. Lebih-lebih ia
kemudian merasa terlegitimasi karena diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk
mengikuti acara Pertemuan Sastrawan 1974 di TIM. Dengan begitu ia merasa
benar-benar telah diakui sebagai sastrawan. Meskipun demikian, pengakuan
semacam itu tak membuat dirinya tinggi hati, tetapi tetap bersemangat walau
saat itu segebung sajak yang dikirimkan ke Budaya Jaya dikembalikan
tanpa catatan apa-apa. Dan semangat Korrie tetap berkobar, terbukti karya
puisi, cerpen, esai, resensi, dan kritiknya terus mengalir ke hampir seluruh
media yang terbit di tanah air.
Bahkan,
tak hanya itu, ia juga terus melakukan uji-coba kemampuan. Kalau semula hanya
menulis karangan pendek (puisi, cerpen, esai), lalu ia mencoba menulis karangan
panjang. Contoh nyata adalah novel Upacara. Pada mulanya, bab pertama
novel itu dimuat sebagai cerpen di Horison (1976). Berkat dorongan rekan
Ragil Suwarna Pragolapati, cerpen itu layak dikembangkan menjadi novel. Bukan
suatu kebe-tulan, saat itu (1976), DKJ sedang mengadakan sayembara mengarang
roman. Karena itu, hanya dalam waktu seminggu (mengejar deadline),
naskah novel Upacara selesai ditulis dan kemu-dian dikirimkan ke
panitia. Dan tak diduga pula, uji kemampuan itu membuahkan hasil, terbukti
novel itu dinyatakan sebagai pemenang utama (novel ini kemudian dimuat sebagai
cerbung di harian Suara Karya, baru kemudian diterbitkan Pustaka Jaya
pada 1978). Kenyataan tersebut membuat semangat juang pengarang muda itu kian
membara, lebih-lebih --walau berselang lama (1981)-- segebung sajak (yang
diberi judul Suara Kesunyian) yang semula dikembalikan oleh Budaya
Jaya akhirnya --berkat bantuan Ajip Rosidi-- dapat diterbitkan.
Karena
itu, berkat semangatnya yang tak pernah padam, juga berkat keyakinannya untuk
menjadi pujangga, walau kini sudah mencapai usia lebih dari setengah abad, ia
tak mau berhenti berproses kreatif menulis. Dan itu sangat masuk akal karena,
menurutnya, perjalanan kreatif seorang penulis tidak ditentukan oleh berapa
panjang usianya, tetapi ditentukan oleh karya yang telah dan akan
dihasilkannya. Selama tangan dan pikiran masih bisa bergerak, tulisan (karya)
akan selalu mengalir darinya. Maka, walau sampai kini ia telah menulis lebih
dari 334 buku (novel, cerpen, puisi, esai, resensi, dll), ia tetap akan terus
berkarya. Dan di dalam berkarya ia tidak pandang bulu, tidak pilih-pilih aliran
tertentu, dan tidak pula terfokus pada jenis atau genre tertentu.
Bila
suatu saat ingin dan ada kesempatan menulis novel, misalnya, ia akan menulis
novel; demikian pula ia akan menulis puisi, cerpen, esai, atau yang lain jika
memang ada kesempatan untuk itu. Itu pula sebabnya, di samping terus menulis
atas keinginan sendiri dan atau untuk melayani permintaan sejumlah media, ia
juga sering me-nulis untuk teman-teman yang meminta dibuatkan puisi ulang
tahun, ucapan ultah perkawinan, iklan produk tertentu, puisi perkawinan, acara
berbagai pesta, hari kemerdekaan, hari Kartini, hari pahla-wan, obituari atas
kematian, ucapan selamat idulfitri, Natal dan Tahun Baru, Nyepi, dan
sebagainya. Dan dalam hal penciptaan sastra semacam ini, sebagai pengarang
Korrie tidak terlalu risau akan mutu. Sebab, menurutnya, yang lebih berhak
mengatakan "mutu" atau "tidak bermutu" hanyalah khalayak
pembaca. Agaknya, memang harus begitulah sikap seorang "pujangga".
***