Perjanjian dengan Setan Jajak MD: Cerpen Sastra ataukah Hiburan?
Monday, December 26, 2016
Edit
Dari sekian bentuk atau jenis (genre) sastra
yang paling banyak dibaca orang adalah cerpen. Kegemaran orang membaca novel,
puisi, dan atau naskah drama jelas lebih kecil dibandingkan dengan cerpen. Hal
ini agaknya disebabkan oleh hampir setiap majalah atau surat kabar menyajikan
cerpen. Bahkan orang yang bukan tergolong konsumen sastra pun banyak yang
menikmati cerpen. Selain itu, cerpen kini memang tumbuh subur dan biasanya
dapat dibaca di sembarang tempat dan dalam waktu singkat.
Ada
asumsi bahwa perbedaan cerpen sastra dan cerpen hiburan (populer) lebih
dititikberatkan pada siapa dan bagaimana cara pembaca mengolahnya dalam pikiran
dan perasaan. Barangkali asumsi itu benar. Sebab pembaca lebih bisa menentukan
bagaimana harus membacanya. Bila pembaca bisa mengolah bacaannya (cerpen)
dengan intens, dan dari hasil bacaannya itu diolah sedemikian rupa sesuai
dengan kebutuhan hidupnya, maka tanpa memikirkan apakah cerpen itu sastra atau
bukan, mereka telah mendapatkan sesuatu darinya. Dan “sesuatu” itulah yang
mungkin menjadi tujuan sastra. Tetapi ada asumsi lain bahwa cerpen sastra
berbeda dengan cerpen hiburan. Cerpen sastra lebih menukik ke kedalaman jiwa,
sedangkan cerpen hiburan sekedar menghibur dan sebagai pelepas dahaga saja.
Atau cerpen sastra memerlukan ketajaman penglihatan, sedangkan cerpen hiburan
tidak memerlukan ketajaman pandang itu sebab cerpen hiburan atau populer hanya
mengungkap hal yang elementer saja.
Berpijak
pada pernyataan tersebut marilah kita tengok cerpen-cerpen Jajak M.D. dalam
kumpulan Perjanjian dengan Setan (Sinar Harapan, 1982). Oleh
masyarakat sastra Indonesia, cerpen Jajak M.D. telah diakui sebagai cerpen
sastra. Namun, apabila kita membaca dengan teliti, barangkali akan terjebak ke
dalam pengertian “hiburan” itu tadi. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini
tidak seluruhnya dapat digolongkan ke dalam cerpen sastra. Bahkan, anggapan
sementara orang bahwa cerpen Jajak termasuk cerpen sastra agaknya perlu ditinjau
kembali. Sebab cerpen-cerpen itu kurang menukik ke kedalaman jiwa. Bisa
dikatakan bahwa cerpen-cerpen tersebut tidak menampilkan sesuatu yang jauh di
dalam lubuk hati, tetapi hanya menampilkan hal yang elementer meskipun
ke-elementer-an itu terkadang kita perlukan pula.
Kita
akui bahwa cerpen-cerpen Jajak M.D. menampilkan persoalan manusia yang amat
dekat dengan kehidupan kita. Kedekatan persoalan itu dapat membangkitkan
perasaan kita untuk lebih mengetahuinya lebih jauh. Tetapi, bila kita melihat
dari satu sisi, tema-tema dan persoalannya memiliki kecenderungan tak lebih
dari sekadar “menghibur” sebab pelukisan masalah-masalahnya hanyalah sederhana,
atau bahkan beberapa pelukisan sketsa, atau mungkin pelukisan sesaat.
Masalah
problema keluarga dapat kita baca dalam cerpen "Perkembangan
Terakhir", "Kuda Lumping", "Orang Serumah", dan
"Beban Hari Tua". Dalam cerpen "Perkembangan Terakhir",
misalnya, problem keluarga hanya dilukiskan sesaat dan hanya cenderung
menghibur. Dikisahkan dalam cerpen itu bahwa tokoh "saya" sudah
berusia 40 tahun namun belum berjodoh. Sementara Ibunya mendesak agar ia cepat
kawin. Bahkan ibunya telah memilihkan calon menantu. Tetapi orang tua gadis itu
(Ida) juga telah menentukan calon suami bagi anaknya, yakni calon yang kaya dan
berpendidikan tinggi. Karena itulah, Ibu menyuruh "saya" agar
melarikan gadis itu. Tetapi, ketika "saya" menentukan hari buat
melarikan Ida, si calon mertua sedang melahirkan. Karena itulah, akhirnya niat
itu tertunda. Akibat tertunda itu pula, Ibu "saya" jadi bingung dan
gelisah. Melihat permasalahan yang ditampilkan demikian, tentu saja kita tidak
mendapatkan sesuatu darinya kecuali hanya merasa terhibur saja.
Di
samping problem keluarga, Jajak juga menampilkan masalah kejahatan di sekitar
kita. Misalnya dalam cerpen "Bandit Bandit", "Tatto Bunga
Mawar", dan “Tamu Tengah Malam”. Membaca tiga cerpen ini rasanya kita
hanya disuguhi persoalan yang sederhana saja, tidak membangkitkan emosi kita
untuk berbuat yang semestinya. Sebab, dalam ketiga cerpen ini, seperti
dikatakan tadi, hanya menampilkan pelukisan sesaat. Pelukisan sesaat itu,
misalnya, dalam cerpen pertama, untuk menangkap bandit harus mempergunakan akal
bandit. Dalam cerpen kedua dan ketiga juga demikian, tanpa disangka-sangka si
pelaku kejahatan hanyalah adiknya sendiri.
Sebagai
orang Jawa, Jajak yang lahir di Magelang pada 11 Maret 1934 itu memang banyak
mengisahkan pengalamannya sendiri. Terbukti, misalnya, dalam pengungkapan tema
kerakusan manusia, ia mengambil lokasi di berbagai tempat di Yogyakarta. Tema
kerakusan manusia itu terlihat dalam cerpen "Manajer-Manajer', "Rumah
Itu", "Jakarta Merak", dan "Sebuah Percakapan". Dalam
keempat cerpen itu para pelakunya (yang rakus) rata-rata alah para pimpinan.
Justru para pimpinan itulah yang menjadi kunci perbuatan jahat dengan kedok
orang lain. Mungkin, ini sebuah pengalaman nyata bagi Jajak MD. Sebab, bila
kita telusur riwayat hidup Jajak yang sering berpindah-pindah kerja karena ulah
pimpinannya, masuk akal jika itu merupakan kisah nyata. Dan itu pula yang
mendorong penulisan cerpen yang bertema demikian.
Di
samping sebagai orang Jawa yang berhasil menampilkan masalah sosial yang dekat
dengan kita, Jajak juga menampilkan budaya Jawa yang sudah mendarah daging,
yaitu budaya pewayangan. Tema dan masalah yang diambil sebagai dasar penulisan
cerpennya ialah sekitar Perang Baratayuda, Padepokan Dorna, dan Kerajaan
Alengkadiraja. Hal ini terlihat dalam cerpen "Pertemuan Terakhir",
"Sang Dorna", dan "Togog". Cerpen “Togog” agaknya hanya
sekedar menampilkan humor belaka dan tidak mementingkan amanat bagi pembaca
sebab tokoh Rahwana dan Togog hanyalah jelmaan arwah yang sedang meninjau
bangunan kota Jakarta. Sedangkan kedua cerpen lainnya agak intens dalam
menampilkan kisahnya.
Tetapi,
dalam ketiga cerpen yang menampilkan dunia wayang itu, apabila kita lihat
dengan detail, kita hanya mendapatkan kisah yang telah ada. Seolah kita hanya
memperoleh sketsa cerita lama, cerita basi, dan seterusnya, sebab kisah dalam
cerpen "Pertempuran Terakhir" sudah kita ketahui melalui cerita
Baratayuda dalam pewayangan, dan bagi kebanyakan orang itu semua barangkali
bukan sesuatu yang baru. Kisah tentang Sang Kresna menyingkirkan Baladewa ke
gerojogan sewu dalam perang Baratayuda juga sudah kita pahami. Begitu juga
dalam cerpen "Sang Dorna" yang hanya merupakan sebuah pengungkapan
kembali cerita lama tentang kesalahpahaman murid-murid Dorna, yakni Palgunadi
dan Arjuna.
Agaknya
ada dua cerpen yang memiliki warna lain, yakni "Perjanjian dengan
Setan" dan "Gelatik". Tetapi, cerpen “Gelatik” memberi kesan
bahwa penampilannya serba kebetulan, bahkan sekedar main-main. Sebab di
dalamnya hanya dikisahkan tentang orang yang suka meramal nasib orang lain. Dan
setelah dipikir jauh ternyata ramalan itu tidak ada artinya sebab semua kehidupan
sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan. Meski hampir sama dengan cerpen
"Gelatik", tapi tidak demikian penampilan dalam cerpen
"Perjanjian dengan Setan". Sebab cerpen ini mengungkapkan masalah
yang jelas dapat menyadarkan perbuatan orang yang sedang dilanda nafsu.
Dikisahkan bahwa orang
yang dilanda nafsu itu ialah Darto Singo, yang hidupnya serba pas-pasan. Karena
iri melihat orang lain kaya, maka ia ingin cepat kaya pula, dengan cara mencari
pesugihan ke Gunung Srandil. Di gunung ini ia berjanji dengan setan akan
mengorbankan diri setelah menjadi kaya. Bunyi perjanjian itu ialah: Ia bersedia
memenuhi sebuah kaleng dengan bulu sapi setiap ia menyembelih lembu, setiap
satu lembu satu bulu yang dimasukkannya. Namun, suatu ketika ia menjadi
terkejut, sebab belum lama kaleng itu hampir penuh. Dan tentu ia curiga, karena
itu suatu malam ia mengintip dan ternyata kaleng itu secara sembunyi-sembunyi
diisi oleh orang lain yang iri akan menyaingi kekayaannya kelak. Karena
tertangkapnya orang itulah akhirnya Darto Singo tidak percaya lagi pada
janjinya dengan setan. Sekarang seluruh hidupnya diserahkan kepada Tuhan, bahwa
orang bisa menjadi kaya karena berusaha. Itulah prinsipnya.
Cerpen
"Perjanjian dengan Setan" agaknya dapat kita anggap sebagai cerpen
yang terbaik di antara semua cerpen dalam buku itu. Sebab masalah-masalah
kepercayaan mistis, yang sebenarnya semua itu tidak logis, dapat terungkap
dengan baik dan dapat menyadarkan orang dari perbuatan tercela. Inilah selintas
tentang cerpen Jajak M.D. Dari semua uraian tadi, tentu kita bisa menentukan
manakah yang sebenarnya tergolong cerpen sastra dan mana yang bukan sastra.
Kalau boleh disimpulkan, dari semua cerpen itu yang termasuk cerpen sastra hanyalah cerpen
"Perjanjian dengan Setan". Sementara yang lain cerpen hiburan.***
Kedaulatan
Rakyat, 29 November 1987