Pengajaran Sastra Bukan untuk Menciptakan Sastrawan
Monday, December 26, 2016
Edit
Artikel
Willy Soenarya yang berjudul “Ada apa dengan apresiasi sastra kita?”, yang
dimuat SOLOPOS Minggu (4 Mei 2003), cukup menarik untuk disimak. Tetapi, ada
beberapa hal yang membuat saya --mungkin juga pembaca lain-- terkejut. Pertama,
di tengah hiruk-pikuk orang membicarakan “goyang ngebor” Inul Daratista vs
Rhoma Irama, kemudian GAM di Aceh, rekan Willy Soenarya sempat-sempatnya
melontarkan isyu tentang “rendahnya tingkat apresiasi masyarakat (termasuk
pemuda, remaja, dan siswa-siswa) kita terhadap sastra”. Sungguh isyu itu sudah
sangat basi. Sebab sudah puluhan tahun hal itu dikeluhkan dan ditangani, tetapi
hasilnya tetap sama.
Kedua,
pernyataan Willy Soenarya di akhir alinea pertama dan awal alinea kedua mengesankan
bahwa seolah tujuan pengajaran sastra di sekolah bukan untuk meningkatkan
kemampuan apresiasi atau menanamkan sikap positif siswa terhadap sastra, tetapi
untuk mencipta seniman atau sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, dll). Ketiga,
pernyataan Willy di akhir tulisannya juga sungguh sangat berani, sebab
pernyataan itu terkesan “merendahkan” guru bahasa pada umumnya dan guru SMU
Santo Yosef Solo khususnya. Willy merasa bahwa seolah siswa SMU Santo Yosef
Solo lebih percaya atau lebih membutuhkan dirinya (yang alumni itu) ketimbang
gurunya.
Tiga hal itulah yang
cukup mengherankan saya. Saya tidak tahu persis apakah Willy seorang guru
ataukah seniman. Kalau seorang guru, lebih-lebih guru bahasa dan sastra di SMU
atau SLTP, dia tentu tahu bagaimana sebenarnya kondisi pengajaran sastra di
sekolah, sehingga lontaran-lontarannya merupakan masukan bagi guru lain
seprofesinya. Tapi, kalau dia seorang seniman, katakanlah penyair, apa yang
dilontarkan Willy dalam tulisannya itu merupakan sebuah kewajaran. Dia berani
melontarkan hal itu karena mungkin tidak paham bagaimana posisi guru bahasa
(dan sastra) yang selama ini ditekan sekaligus diombang-ambingkan oleh harapan
dan kenyataan, oleh beban dan tanggung jawab, mungkin juga dia tidak paham
bagaimana kondisi siswa yang selama ini terlalu sarat beban pelajaran.
Bagaimana mungkin guru
bisa suntuk mengajarkan sastra (apalagi mengajarkan menulis karya sastra)
sementara sastra hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran bahasa? Bagaimana
mungkin siswa bisa suntuk belajar sastra (yang memerlukan perenungan,
pemahaman, dan penghayatan yang intens) sementara beban pelajaran lain cukup
menyita sebagian besar waktunya? Saya percaya memang sebagian besar guru bahasa
di sekolah tidak kreatif, tidak inovatif, apalagi mampu membuat sendiri
–seperti yang disarankan Willy—bahan pengajaran sastra (puisi, cerpen, dll)
yang sesuai tema pembelajaran. Saya juga percaya masih banyak guru yang hanya
patuh pada buku teks dan acuh pada bahan-bahan penunjang lain yang melimpah.
Tetapi, saya juga percaya
bahwa sebagian guru di sekolah sudah mencoba berbuat sebaik-baiknya bagi siswa,
sudah mengajak siswa untuk belajar lebih kreatif, inovatif, dan kompetitif.
Misalnya, membimbing siswa cara membaca/mengapresiasi sastra dengan baik,
menyediakan/menunjukkan sumber-sumber bacaan (koran, majalah, buku) yang tepat,
membangun kesadaran agar siswa aktif mengamati dinamika perkembangan
seni-budaya, dsb. Kalau kebetulan guru itu juga memiliki bakat dalam hal
penulisan kreatif, saya kira mereka juga sudah membimbing para siswa cara
menggali gagasan, cara mengembangkan imajinasi, cara berkreasi, baik lisan
maupun tulis, dll, sehingga siswa bisa lebih aktif-kreatif.
Namun, kita sadar
sepenuhnya bahwa semua usaha itu tidak menjamin keberhasilan siswa, sebab kendala
lain masih cukup banyak, terutama faktor eksternal seperti merebaknya budaya oral
(yang diperparah oleh media elektronik) yang selama ini cenderung mematikan
budaya literal. Itulah sebabnya, sudah tidak populer lagi kalau tuduhan
kegagalan pengajaran sastra di sekolah dialamatkan pada kurang kreatifnya guru,
kurang tepatnya metode, kurangnya bahan atau buku ajar, tidak adilnya
kurikulum, kurangnya alokasi waktu, dll. Sebab, kegagalan pengajaran sastra
yang terjadi selama ini tidak lain diakibatkan oleh kesalahan sistem pendidikan
yang diterapkan di Indonesia yang cenderung hanya diarahkan pada penjejalan
sebanyak-benyaknya pengetahuan kepada siswa tanpa dipilah sesuai bakat, minat,
dan kemampuannya.
Sehingga, yang terjadi
adalah siswa yang sebenarnya hanya mampu di bidang ilmu humaniora tetap dipaksa
untuk menelan ilmu-ilmu eksakta, demikian sebaliknya, sehingga akibatnya
kedua-duanya menjadi mentah. Dalam kaitan ini saya sependapat dengan Frans
Magnis Suseno bahwa pendidikan yang paling tepat adalah “pendidikan yang
diskriminatif”. Artinya, pendidikan itu dikelola secara khusus dan didasarkan
pada kemampuan dan minat siswa; dan itu mestinya sudah dilakukan sejak
pendidikan dasar. Dengan begitu, kita yakin bahwa bidang yang dipilih siswa
sejak awal bisa dicerap secara lebih matang sehingga kelak mereka pun siap
memasuki dunia kerja secara profesional.
Hal lain yang perlu diluruskan adalah
pandangan Willy tentang tujuan pengajaran sastra di sekolah yang nota bene
untuk mencipta seniman atau sastrawan. Perlu diketahui bahwa tujuan pengajaran
sastra di sekolah sejak awal tidaklah untuk mencipta seniman atau sastrawan,
tetapi untuk meningkatkan kemampuan apresiasi siswa (memahami, menghargai,
menghayati) terhadap karya sastra. Dengan kemampuan apresiasi itu diharapkan
siswa dapat bersikap positif dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai (moral,
sosial, religius, dll) yang terkandung di dalamnya demi perbaikan
mental-spiritual ketika mereka mengarungi hidup dan kehidupannya di
tengah-tengah masyarakat.
Mampu mengapresiasi (dan memetik
manfaat) karya sastra cukuplah bagi siswa, dan itu berarti cukup pula tugas
guru sastra. Kalau kebetulan mereka (siswa) pandai pula menulis karya sastra,
hal itu adalah suatu prestasi yang diharapkan, tetapi itu bukanlah tujuan
utamanya. Memang, mereka yang mampu mengembangkan proses kreatif, mampu
menciptakan karya sastra (puisi, cerpen, drama, novel), biasanya mereka pula
yang memiliki kemampuan lebih dalam hal mengapresiasi karya sastra.
Hanya saja, persoalan klasik yang sangat
mengganggu adalah adanya suatu kenyataan masih banyaknya guru bahasa (dan
sastra) yang belum terbiasa membangun diri dan mengakrabi karya sastra.
Jangankan membuat karya sastra sendiri untuk dijadikan bahan pelajaran, atau
meminta bantuan sastrawan untuk membuatkan karya sastra (yang tentu perlu dana)
yang sesuai tema pembelajaran, mengikuti perkembangan dinamika sastra dan
mengenal sastrawan pun mereka enggan. Kalau sudah demikian, tidaklah berlebihan
jika pengajaran sastra di sekolah selama ini dipandang gagal. Walaupun,
kegagalan itu bukanlah semata karena guru tak punya kemampuan, tetapi karena
memang sistem-lah yang membuat demikian.
Untuk itu, agar kegagalan demi kegagalan
itu tak terulang terus-menerus, ada baiknya mulai saat ini dipergiat kerja sama
dengan berbagai pihak. Katakanlah, secara periodik pihak sekolah mengadakan
kegiatan bengkel sastra atau sejenisnya, yang di dalamnya guru bersama
sastrawan secara terprogram memberikan pelatihan apresiasi (memahami,
menghayati) dan ekspresi, baik tulis (mencipta) maupun lisan (membacakan,
memanggungkan), serta pendalaman proses kreatif. Melalui sebanyak-banyaknya
latihan niscaya mereka (siswa) akan terbangun minat dan sikap positifnya
terhadap sastra. ***
Dimuat SOLOPOS, 1 Juni 2003