-->

Pengajaran Sastra Bukan untuk Menciptakan Sastrawan


       Artikel Willy Soenarya yang berjudul “Ada apa dengan apresiasi sastra kita?”, yang dimuat SOLOPOS Minggu (4 Mei 2003), cukup menarik untuk disimak. Tetapi, ada beberapa hal yang membuat saya --mungkin juga pembaca lain-- terkejut. Pertama, di tengah hiruk-pikuk orang membicarakan “goyang ngebor” Inul Daratista vs Rhoma Irama, kemudian GAM di Aceh, rekan Willy Soenarya sempat-sempatnya melontarkan isyu tentang “rendahnya tingkat apresiasi masyarakat (termasuk pemuda, remaja, dan siswa-siswa) kita terhadap sastra”. Sungguh isyu itu sudah sangat basi. Sebab sudah puluhan tahun hal itu dikeluhkan dan ditangani, tetapi hasilnya tetap sama.
        Kedua, pernyataan Willy Soenarya di akhir alinea pertama dan awal alinea kedua mengesankan bahwa seolah tujuan pengajaran sastra di sekolah bukan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi atau menanamkan sikap positif siswa terhadap sastra, tetapi untuk mencipta seniman atau sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, dll). Ketiga, pernyataan Willy di akhir tulisannya juga sungguh sangat berani, sebab pernyataan itu terkesan “merendahkan” guru bahasa pada umumnya dan guru SMU Santo Yosef Solo khususnya. Willy merasa bahwa seolah siswa SMU Santo Yosef Solo lebih percaya atau lebih membutuhkan dirinya (yang alumni itu) ketimbang gurunya.
Tiga hal itulah yang cukup mengherankan saya. Saya tidak tahu persis apakah Willy seorang guru ataukah seniman. Kalau seorang guru, lebih-lebih guru bahasa dan sastra di SMU atau SLTP, dia tentu tahu bagaimana sebenarnya kondisi pengajaran sastra di sekolah, sehingga lontaran-lontarannya merupakan masukan bagi guru lain seprofesinya. Tapi, kalau dia seorang seniman, katakanlah penyair, apa yang dilontarkan Willy dalam tulisannya itu merupakan sebuah kewajaran. Dia berani melontarkan hal itu karena mungkin tidak paham bagaimana posisi guru bahasa (dan sastra) yang selama ini ditekan sekaligus diombang-ambingkan oleh harapan dan kenyataan, oleh beban dan tanggung jawab, mungkin juga dia tidak paham bagaimana kondisi siswa yang selama ini terlalu sarat beban pelajaran. 
Bagaimana mungkin guru bisa suntuk mengajarkan sastra (apalagi mengajarkan menulis karya sastra) sementara sastra hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran bahasa? Bagaimana mungkin siswa bisa suntuk belajar sastra (yang memerlukan perenungan, pemahaman, dan penghayatan yang intens) sementara beban pelajaran lain cukup menyita sebagian besar waktunya? Saya percaya memang sebagian besar guru bahasa di sekolah tidak kreatif, tidak inovatif, apalagi mampu membuat sendiri –seperti yang disarankan Willy—bahan pengajaran sastra (puisi, cerpen, dll) yang sesuai tema pembelajaran. Saya juga percaya masih banyak guru yang hanya patuh pada buku teks dan acuh pada bahan-bahan penunjang lain yang melimpah.
Tetapi, saya juga percaya bahwa sebagian guru di sekolah sudah mencoba berbuat sebaik-baiknya bagi siswa, sudah mengajak siswa untuk belajar lebih kreatif, inovatif, dan kompetitif. Misalnya, membimbing siswa cara membaca/mengapresiasi sastra dengan baik, menyediakan/menunjukkan sumber-sumber bacaan (koran, majalah, buku) yang tepat, membangun kesadaran agar siswa aktif mengamati dinamika perkembangan seni-budaya, dsb. Kalau kebetulan guru itu juga memiliki bakat dalam hal penulisan kreatif, saya kira mereka juga sudah membimbing para siswa cara menggali gagasan, cara mengembangkan imajinasi, cara berkreasi, baik lisan maupun tulis, dll, sehingga siswa bisa lebih aktif-kreatif.
Namun, kita sadar sepenuhnya bahwa semua usaha itu tidak menjamin keberhasilan siswa, sebab kendala lain masih cukup banyak, terutama faktor eksternal seperti merebaknya budaya oral (yang diperparah oleh media elektronik) yang selama ini cenderung mematikan budaya literal. Itulah sebabnya, sudah tidak populer lagi kalau tuduhan kegagalan pengajaran sastra di sekolah dialamatkan pada kurang kreatifnya guru, kurang tepatnya metode, kurangnya bahan atau buku ajar, tidak adilnya kurikulum, kurangnya alokasi waktu, dll. Sebab, kegagalan pengajaran sastra yang terjadi selama ini tidak lain diakibatkan oleh kesalahan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia yang cenderung hanya diarahkan pada penjejalan sebanyak-benyaknya pengetahuan kepada siswa tanpa dipilah sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Sehingga, yang terjadi adalah siswa yang sebenarnya hanya mampu di bidang ilmu humaniora tetap dipaksa untuk menelan ilmu-ilmu eksakta, demikian sebaliknya, sehingga akibatnya kedua-duanya menjadi mentah. Dalam kaitan ini saya sependapat dengan Frans Magnis Suseno bahwa pendidikan yang paling tepat adalah “pendidikan yang diskriminatif”. Artinya, pendidikan itu dikelola secara khusus dan didasarkan pada kemampuan dan minat siswa; dan itu mestinya sudah dilakukan sejak pendidikan dasar. Dengan begitu, kita yakin bahwa bidang yang dipilih siswa sejak awal bisa dicerap secara lebih matang sehingga kelak mereka pun siap memasuki dunia kerja secara profesional.
        Hal lain yang perlu diluruskan adalah pandangan Willy tentang tujuan pengajaran sastra di sekolah yang nota bene untuk mencipta seniman atau sastrawan. Perlu diketahui bahwa tujuan pengajaran sastra di sekolah sejak awal tidaklah untuk mencipta seniman atau sastrawan, tetapi untuk meningkatkan kemampuan apresiasi siswa (memahami, menghargai, menghayati) terhadap karya sastra. Dengan kemampuan apresiasi itu diharapkan siswa dapat bersikap positif dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai (moral, sosial, religius, dll) yang terkandung di dalamnya demi perbaikan mental-spiritual ketika mereka mengarungi hidup dan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
        Mampu mengapresiasi (dan memetik manfaat) karya sastra cukuplah bagi siswa, dan itu berarti cukup pula tugas guru sastra. Kalau kebetulan mereka (siswa) pandai pula menulis karya sastra, hal itu adalah suatu prestasi yang diharapkan, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya. Memang, mereka yang mampu mengembangkan proses kreatif, mampu menciptakan karya sastra (puisi, cerpen, drama, novel), biasanya mereka pula yang memiliki kemampuan lebih dalam hal mengapresiasi karya sastra.
          Hanya saja, persoalan klasik yang sangat mengganggu adalah adanya suatu kenyataan masih banyaknya guru bahasa (dan sastra) yang belum terbiasa membangun diri dan mengakrabi karya sastra. Jangankan membuat karya sastra sendiri untuk dijadikan bahan pelajaran, atau meminta bantuan sastrawan untuk membuatkan karya sastra (yang tentu perlu dana) yang sesuai tema pembelajaran, mengikuti perkembangan dinamika sastra dan mengenal sastrawan pun mereka enggan. Kalau sudah demikian, tidaklah berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah selama ini dipandang gagal. Walaupun, kegagalan itu bukanlah semata karena guru tak punya kemampuan, tetapi karena memang sistem-lah yang membuat demikian.
        Untuk itu, agar kegagalan demi kegagalan itu tak terulang terus-menerus, ada baiknya mulai saat ini dipergiat kerja sama dengan berbagai pihak. Katakanlah, secara periodik pihak sekolah mengadakan kegiatan bengkel sastra atau sejenisnya, yang di dalamnya guru bersama sastrawan secara terprogram memberikan pelatihan apresiasi (memahami, menghayati) dan ekspresi, baik tulis (mencipta) maupun lisan (membacakan, memanggungkan), serta pendalaman proses kreatif. Melalui sebanyak-banyaknya latihan niscaya mereka (siswa) akan terbangun minat dan sikap positifnya terhadap sastra. *** 
 Dimuat SOLOPOS, 1 Juni 2003

Berlangganan update artikel terbaru via email:

TULISAN TERPOPULER

CARI JUGA DI LABEL BAWAH INI

Antologi Cerpen (59) Antologi Esai (53) Penelitian/Kajian Sastra (43) Antologi Puisi (40) Cerita Anak (25) Penelitian/Kajian Bahasa (25) Sastra Jawa Modern (20) Sastra Indonesia-Jogja (14) Antologi Drama (13) Budi Darma (13) Ulasan Buku (13) Kritik Sastra (12) Proses Kreatif (12) Esai/Kritik Sastra (11) Pembelajaran Sastra (11) Kamus (10) Pedoman (10) Prosiding Seminar Ilmiah (9) Antologi Features (8) Cerita Rakyat (8) Mohammad Diponegoro (8) Jurnal (7) Membaca Sastra (7) Religiusitas Sastra (7) UU Bahasa (7) Artikel Jurnal Internasional (6) Antologi Artikel (5) Bahan Ajar (5) Kongres Bahasa (5) Nilai-Nilai Budaya (5) Bahasa/Sastra Daerah (4) R. Intojo (4) Seri Penyuluhan Bahasa (4) Sistem Kepengarangan (4) Telaah Dialogis Bakhtin (4) Ahmad Tohari (3) Antologi Biografi (3) Antologi Dongeng (3) Danarto (3) Ensiklopedia (3) Gus Tf Sakai (3) Konsep Nrimo dan Pasrah (3) Korrie Layun Rampan (3) Pascakolonial (3) Penghargaan Sastra (3) AA Navis (2) Antologi Macapat (2) Artikel Jurnal (2) Dinamika Sastra (2) Festival Kesenian (FKY) (2) Film/Televisi Indonesia (2) Glosarium (2) Kuntowijoyo (2) Majalah Remaja (2) Novel Polifonik (2) Pemasyarakatan Sastra (2) Sastra Jawa Pra-Merdeka (2) Seno Gumira Adjidarma (2) Telaah Intertekstual (2) Umar Kayam (2) Abstrak Penelitian (1) Arttikel Jurnal (1) BIPA (1) Bahan Ajar BIPA (1) Budaya Literasi (1) Cermin Sastra (1) Ejaan Bahasa Jawa (1) Etika Jawa (1) FBMM (1) Gerson Poyk (1) Herry Lamongan (1) Iblis (1) Iwan Simatupang (1) Jajak MD (1) Jaring Komunikasi Sastra (1) Kaidah Estetika Sastra (1) Karier Tirto Suwondo (1) Karya Tonggak (1) Kebijakan (1) Motinggo Busye (1) Muhammad Ali (1) Muryalelana (1) Novel (1) Olenka; Budi Darma; Bakhtin (1) Posisi Teks Sastra (1) Puisi Tegalan (1) Putu Wijaya (1) Salah Asuhan (1) Sastra Balai Pustaka (1) Sastra Non-Balai Pustaka (1) Sastra dan Ekonomi Kreatif (1) Sastra dan Imajinasi (1) Sastra dan ORBA (1) Sastra dlm Gadjah Mada (1) Sejarah Sastra (1) Studi Ilmiah Sastra (1) Studi Sastra (1) Syamsuddin As-Sumatrani (1) Teater Modern (1) Telaah Model AJ Greimas (1) Telaah Model Levi-Strauss (1) Telaah Model Roland Barthes (1) Telaah Model Todorov (1) Telaah Model V Propp (1) Telaah Pragmatik (1) Telaah Sosiologis (1) Telaah Stilistika (1) Teori Sastra (1) Teori Takmilah (1) Turiyo Ragil Putra (1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel