Penciptaan Sastra dengan Estetika Semar
Sunday, December 18, 2016
Edit
Hampir setiap orang tahu siapa Semar. Semar adalah figur
khas dalam dunia wayang. Ia sesepuh
panakawan yang senantiasa hadir dalam keluarga Pandawa. Konon ia dewa yang
menjelma jadi rakyat jelata. Sebagai dewa, ia pelindung dan penasihat yang
menghantarkan Pandawa meraih kemenangan di medan laga. Dan sebagai rakyat
jelata, dengan setia ia jadi batur
(pelayan) Pandawa. Jadi, Pandawa dan Semar adalah “satu”. Pandawa takkan
berarti tanpa Semar, begitu juga sebaliknya.
Ini adalah simbol. Artinya, kesatria takkan berarti tanpa
hamba. Bangsawan, priyayi,
takkan berguna tanpa wong cilik. Jadi, para penguasa negara,
orang-orang hebat itu, tanpa dukungan rakyat kecil, juga tak lebih dari orang
kebanyakan. Tapi, tak dapat diingkari, orang-orang kecil memang memerlukan
penguasa, entah sebagai pengayom,
pelindung, mungkin juga sumber nilai dan etika. Menurut bahasa iklan, mereka
adalah two in one, dua dalam satu,
saling melengkapi, saling bergantung, membaur.
Inilah cermin harmoni dari tipologi Semar. Ia menjadi
sosok kesela-rasan, keharmonisan, juga kenikmatan. Betapa hambar pertunjukan
wayang tanpa goro-goro, di mana Semar
medhar sabdo, berdiskusi dengan
Gareng, Petruk, dan Bagong. Bagaimana seharusnya sikap abdi terhadap bendara,
bagaimana perlakuan wong gedhe
terhadap wong cilik, bagaimana
menegak-kan angger-angger, semuanya tersaji secara pas, menyentuh,
bahkan merebut hati penonton. Di sinilah penonton memperoleh pengalaman
estetik, terpu-asi oleh sajian estetika Semar. Betapa sempurnanya Semar,
sesempurna Sang Dewa, padahal ia sangat jelek rupa, karena memang ia hanyalah
pelayan.
Berkat kesempurnaannya itu, Semar kemudian menjadi sosok
ideal. Ia tidak hanya disayangi dan dipuja masyarakat Jawa, tetapi juga Bali,
Sunda, Betawi, bahkan Cina. Keteladanannya dijadikan semacam pranata dalam mengatur berbagai
organisasi kemasyarakatan, baik besar maupun kecil. Sosok dan kepribadian Semar
telah mengakar, merasuk ke dalam keperca-yaan dan pola hidup masyarakat. Karena
itu, tak aneh jika Semar juga “menyelinap” dalam wacana kesusastraan kita,
menjadi “roh” penciptaan bagi pengarang dalam mengemas imajinasi mereka.
Namun itu bukanlah gejala atavistik. Sebab Semar di
tangan pe-ngarang diperlakukan secara inkonvensional. Semar tidak sekadar
dijadikan pijakan tradisi, penyampai nilai moral, tetapi juga objek estetik
dengan gaya ucap yang variatif, kreatif, dan bebas. Sosoknya dipermainkan,
eksistensinya dijungkirbalikkan. Ia tampil sebagai counter untuk menyingkap tabir ke-busukan dan kecarut-marutan
masyarakat.
Pengarang yang paling getol memanfaatkan figur Semar
adalah Putu Wijaya. Dalam novel Perang
(1990), misalnya, sosok Semar (juga panakawan
lain) dimanipulasi secara unik. Dengan gaya ucap yang khas, glenyengan, penuh humor dan anekdotis,
Semar hadir sebagai “juru koreksi” atas kesalahpahaman dalam Perang Baratayuda.
Kisah dalam Perang mirip dengan kisah
Mahabatara. Di dalamnya ada dua kubu, Kurawa dan Pandawa. Mereka “terlanjur” saling bermusuhan. Kurawa
di pihak yang kalah, dan Pandawa yang selalu menang. Karena ada “keterlanjuran”
itulah, Pandawa menganggap segala tindakan Kurawa selalu jahat dan licik.
Ang-gapan ini pada gilirannya melahirkan suatu “pembenaran” terhadap segala hal
yang dilakukan Pandawa sendiri. Karena itu, seperti “disimpulkan” oleh Semar
dan putra-putranya, bahwa sesungguhnya kelicikan dan kejahatan terjadi bukan
hanya pada pihak yang jahat dan kalah, tetapi juga pada pihak yang baik dan
menang. Jelasnya, kejahatan dan “dosa” ada di mana-mana, termasuk di pihak
Pandawa yang terkenal jujur dan adil itu.
Hal serupa terjadi dalam novel Pol (1987). Dalam Pol
Putu menyuguh-kan figur Semar sebagai sebuah mimpi. Tokoh utama Aston, seorang
warga kelas teri, suatu ketika bermimpi melihat Semar. Impian ini sebenarnya
bu-kanlah sekadar impian, tetapi lebih sebagai “harapan”, seperti harapan
tentang datangnya Ratu Adil. Sebab, sebagaimana dilihat Aston, bahwa masyarakat
kita sekarang sedang sakit. Kejahatan, monopoli, dan menipulasi tidak hanya
menjadi bagian dari orang-orang berkuasa, tetapi sudah melan-da orang-orang
yang paling melarat sekalipun. Namun, dalam novel ini Putu tidak menghadirkan
mitos Ratu Adil itu sebagai mimpi Aston, tetapi justru Semar. Mengapa, karena
Semar adalah sosok ideal yang selalu ber-pihak pada yang benar tetapi
terkalahkan. Dan inilah yang biasanya me-nimpa kaum lemah semacam Aston.
Impian tentang Semar yang benar-benar Semar, bukan
“semar-semaran”, ditampilkan secara bagus dalam lakon “Semar Gugat” oleh Teater
Koma di TIM akhir 1995 lalu. Seperti dikatakan Frans Magnis Suseno dan
Sindhunata, semakin banyak Semar, sosok Semar semakin samar, sehingga Semar
yang benar-benar Semar semakin sulit dipegang. Seperti dalam kisah wayang,
biasanya Semar akan menghilang, menyepi, hidup dalam “kesa-maran” jika sedang
marah terhadap anak-anaknya. Dalam “kesamarannya” itu ia akan menggugat
jatidirinya. Tapi, apakah akan mampu menggugat jatidirinya jika ia selalu dalam
“cengkeraman” tuannya? Kalau selalu “dicengkeram”, bagaimanapun, Semar juga
bisa “mati”, tidak mampu menunjukkan personalitasnya sebagai dewa. Inilah
sebenarnya yang di-inginkan Riantiarno, pimpinan Teater Koma, lewat lakon Semar Gugat (maskah ini telah
diterbitkan Bentang, 1995). Secara implisit, lakon ini dimaksudkan sebagai
pengembaraan imajiner yang “merindukan, memim-pikan” kehadiran Semar, tokoh
ideal pembawa kebenaran. Tapi, impian itu tidak pernah berhasil. Semar-semar
sudah hilang dari dunia ini.
Dengan gaya pembelaannya yang khas, Semar tampil dalam
novel (esei) Emha Ainun Nadjib Gerakan
Punakawan atawa Arus Bawah (1994). Da-lam novel ini Semar dan ketiga
anaknya disimbolisasikan sebagai figur yang mampu menyerap aspirasi kelas
bawah. Mereka menyatu dengan rakyat ke-cil. Ketika “kelas bawah” memperoleh
perlakuan tidak adil dari “kelas atas”, dengan spontan mereka melakukan reaksi,
gerakan advokasi, dan pembe-laan. Dalam kerangka ini, Semar menduduki fungsi
yang teramat penting. Semar adalah “roh” dari gerakan arus bawah itu. Jika
suatu ketika Semar tiba-tiba menghilang, anak-anaknya akan bingung, tak bisa
berbuat apa-apa, seolah gerakan arus bawah mati. Dengan gaya yang kritis,
satiris, parodis, dan humoris, Emha memaknai Semar sebagai simbol harmoni
sosial.
Selain itu, dalam karyanya Anak Bajang Menggiring Angin (1983), secara implisit dan jernih
Sindhunata mengambil jatidiri Semar sebagai pengisi karakter tokoh-tokoh
utamanya. Ia bertolak dari konsep bahwa Semar memiliki “dua dimensi”, yaitu
pelayan yang penasihat, manusia yang dewa, dan yang berbudi tetapi jelek rupa.
Karena itu, tokoh utama cerita di-ambilkan dari tipe makhluk yang berpenampilan
fisik jelek, seperti raksasa, kera, makhluk halus, dan sebagainya, bukan para
kesatria seperti Rama dan Sinta. Mengapa demikian, karena seperti diakuinya
sendiri, bahwa “kejelekan” merupakan bagian dari “kebaikan”. Kebaikan ada
karena ada kejelekan, begitu juga sebaliknya.
Sebagaimana tercermin dalam diri Semar, bahwa justru tipe orang yang
jelek itulah yang memiliki keinginan untuk melebihi kebaikan orang baik,
sementara yang baik justru cenderung melupakan kebaikannya. Cermin pribadi
Semar macam ini secara lebih mendalam dilukiskan Sindhunata dalam buku
Semar Mencari Raga (1996).
Kendati tidak
eksplisit, eksistensi Semar cukup berarti dalam kasus “dicekalnya” Pak Dalang
dalam cerpen Danarto “Balairung” (dalam Gergasi,
1993). Dalam cerpen itu Semar tampil sebagai sosok yang disegani, termasuk oleh
bendaranya sendiri. Karena itu,
ketika terjadi dialog tentang korupsi
raja, pembesar, dan penguasa, yang semuanya keluar dari mulut Petruk, di
balairung Pandawa, Semar lebih bersikap diam, tak berkomentar; mungkin karena Semar
menganggap isi dialog itu benar. Kresna, yang dikritik habis-habisan oleh
Petruk, juga tak merasa tersindir. Justru yang tersindir orang lain (pendengar)
sehingga Pak Bupati menangkap Pak
Dalang.
Pengarang yang mengangkat mitos wayang cukup banyak.
Mereka rata-rata berasal dari subkultur Jawa. Dapat disebutkan, misalnya YB
Ma-ngunwijaya dalam Durga Umayi; Umar
Kayam dalam Para Priyayi; atau para
cerpenis seperti Satyagraha Hoerip, Yanusa Nugroho, dan lain-lain. Namun, dalam
karya-karya mereka, Semar tidak menjadi “roh”
penciptaan-nya, te-tapi cenderung mengangkat mitos wayang secara umum.
Begitulah, antara lain, eksistensi Semar dalam wacana kesusastraan
Indonesia. Ini tidak hanya terdapat dalam lakon, novel, dan cerpen saja, tetapi
juga puisi. Misalnya karya Darmanto Yatman dan Linus Suryadi AG. Dalam
karya-karya mereka Semar diperlakukan
sebagai simbol “idealisasi”, “harapan ”, dan
“impian”, karena Semar (dan semua panakawan)
adalah “makhluk ambang” yang memiliki otoritas tinggi dalam hal
sindir-menyin-dir. Mereka identik dengan sindiran itu sendiri. Mereka subjek
sekaligus objek tertawaan yang segar. Justru karena itu, pihak lainlah
(pembaca) yang “dipaksa” untuk menanggapi secara serius.
Sebagai catatan akhir, dapat dinyatakan bahwa di tangan
pengarang Semar bukan lagi sebagai Semar yang dimitoskan, tetapi Semar yang
di-idealisasi menjadi “impian” dan “harapan”. Karenanya, dalam wacana
kesu-sastraan modern ia hadir sebagai kontramitos. Ia dijelmakan menjadi sebu-ah “tombak”, “alat
koreksi”, untuk mencapai “harmoni”. Sebagai sarana harmoni, Semar yang jelek itu
menjadi objek estetika penciptaan. Agaknya, estetika “kejelekan” dan “kelucuan”
inilah, sebagaimana tercermin dalam diri Semar,
yang lagi trend sekarang ini.***