Penaung Sastra Jawa
Monday, December 12, 2016
Edit
Pada 29
Mei lalu (2010), di Universitas Negeri Yogyakarta, Yayasan Kebudayaan Rancage
kembali memberikan hadiah kepada sastra berbahasa daerah. Hadiah sastra yang rutin
diberikan sejak 1989 itu tahun ini (2010) tak hanya diberikan kepada sastra
Sunda, Jawa, dan Bali, tetapi juga Lampung. Para pemenangnya, baik penulis buku
maupun jasa: Usep Romli dan Karno Kartadibrata (Sunda), Sumono Sandy Asmoro dan
Bonari (Jawa), I Wayan Sadha dan Agung Wiyat S Ardhi (Bali), dan Asarpin Aslami
(Lampung), masing-masing memperoleh uang pembinaan 5 juta plus pigura cantik
berisi piagam penghargaan.
Setiap menghadiri
acara penyerahan Hadiah Rancage, terus terang saya merasa terharu. Betapa
di era kapitalis modern ini masih ada orang atau yayasan yang begitu setia
menyumbangkan sebagian hartanya demi kemajuan sastra lokal (sastra berbahasa
ibu).
Yang lebih mengharukan lagi, para pendirinya (Ajip Rosidi dkk) adalah orang-orang Sunda, mestinya hanya sastra Sunda yang diberi hadiah/penghargaan. Tetapi, mengapa mereka juga memiliki perhatian besar pada sastra Jawa, Bali, bahkan Lampung? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena sikap mereka jelas: ingin memajukan generasi bangsa ini lewat sastra daerah tanpa membedakan ras, suku, agama, daerah, dan sejenisnya.
Yang lebih mengharukan lagi, para pendirinya (Ajip Rosidi dkk) adalah orang-orang Sunda, mestinya hanya sastra Sunda yang diberi hadiah/penghargaan. Tetapi, mengapa mereka juga memiliki perhatian besar pada sastra Jawa, Bali, bahkan Lampung? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena sikap mereka jelas: ingin memajukan generasi bangsa ini lewat sastra daerah tanpa membedakan ras, suku, agama, daerah, dan sejenisnya.
Sastra
berbahasa daerah memang diyakini mampu memberikan fondasi kuat bagi kepribadian
anak-anak bangsa; sementara selama ini sastra daerah selalu luput dari
perhatian pemerintah. Karena itulah, Ajip Rosidi dengan Yayasan Kebudayaan Rancage-nya
bertekad kuat untuk mewujudkan keyakinan itu. Dan satu cara yang dilakukan adalah
dengan menjadi penaung (maecenas) yang agenda utamanya memberikan penghargaan
kepada buku sastra dan kepada pelaku yang telah berjasa terhadap pembinaan
sastra daerah.
Dalam
banyak kesempatan Ajip Rosidi sering menyatakan ”janganlah terlalu berharap
pada pemerintah, lakukanlah apa yang dapat dilakukan, mulai dari diri kita sendiri.”
Dan dengan kata-katanya itu ia dapat membuktikan: sudah lebih dari 20 tahun
yayasan yang didirikannya mampu memberi hadiah Rancage bagi sastra
Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung; bahkan juga hadiah Samsudi bagi sastra
anak-anak berbahasa Sunda. Barangkali ke depan Rancage tak hanya diberikan
kepada sastra Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung, tetapi juga Bugis, Minang, Aceh,
Sasak, dll.
Pertanyaannya
sekarang, kapan akan muncul yayasan, atau apa pun nama dan bentuk organisasinya,
yang dapat menjadi pengayom/penaung (maecenas) sastra Jawa? Di telinga
kita, barangkali pertanyaan ini terdengar usang, tetapi melihat sepak terjang
Yayasan Rancage yang begitu peduli terhadap sastra Jawa, tentu kita sebagai
pemilik sah sastra Jawa juga harus lebih peduli terhadapnya. Karena itu, kita
tak boleh bosan bertanya dan berharap: kapan maecenas sastra Jawa lahir?
Apalagi, dilihat luas wilayahnya, masyarakat Jawa tergabung dari tiga provinsi
(Jatim, Jateng, DIY) sehingga mustahil jika tak ada seorang pun, atau tak satu
pihak pun, yang mampu dan mau menjadi penaung sastra Jawa.
Harapan
itu tidaklah sekadar dilandasi oleh belum adanya penaung (maecenas) yang
serius dan rutin memberikan hadiah kepada sastra Jawa. Sesekali hadiah sastra
Jawa juga pernah diberikan, di antaranya oleh lembaga pemerintah (Pusat dan Daerah)
maupun lembaga swasta. Tetapi, pada umumnya usaha itu tak pernah bisa
berkesinambungan. Untuk itu, kita perlu belajar dari Yayasan Rancage
tentang bagaimana komitmen, sikap, dan cara pengelolaannya agar harapan akan
adanya maecenas yang keberlangsungan hidupnya terjamin dapat terwujud.
Satu hal
yang perlu direnungkan kembali ialah selama ini kita masih terlalu mengagungkan
dunia wacana, budaya oral, dan tradisi lisan. Karena itu kita sibuk mengikuti
dan menyelenggarakan perhelatan (seminar, konferensi, simposium, kongres, dll)
baik lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Tetapi, apa yang terjadi?
Hasil rumusan dari perhelatan itu memang bagus-bagus, bahkan cenderung
muluk-muluk, tetapi umumnya selesai acara selesailah perkaranya, dan hasil
rumusannya tak lebih hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di laci.
Hal
demikian tidak berarti perhelatan semacam itu tidak penting; tapi kalau
kemudian hanya menjadi rutinitas tanpa implementasi, akan sia-sia-lah
perhelatan yang tak sedikit biayanya itu. Dan benar apa kata Ajip Rosidi ”sudah
lebih dari 30 tahun saya mengikuti seminar atau pertemuan baik di dalam maupun
di luar negeri, dan semua yang dibicarakan bagus, rumusannya bagus, tapi
umumnya itu tak pernah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.” Karena itu, di
forum international conference di UNY pada 29 Mei lalu ia menyarankan ”jangan
hanya pandai membicarakan tetapi juga harus mau melaksanakan, termasuk
melaksanakan usaha pembinaan sastra dan budaya daerah.”
Untuk itu,
sekali lagi, kapan penaung sastra Jawa benar-benar hadir? Sebenarnya, kalau
mau, mulai sekarang pun dapat dihadirkan. Andai tak ada seseorang, pengusaha,
atau sekelompok pengusaha yang mau menyisihkan sebagian hartanya untuk itu,
mestinya Pemda (Jatim, Jateng, dan DIY) tak kesulitan mewujudkannya. Kalau APBD
mampu mengalokasikan 4--5 milyar untuk Kongres Bahasa Jawa, tentulah tak sulit
memberikan 50--100 juta setiap tahun untuk hadiah sastra (termasuk
penerbitannya). Bukankah setiap tahun Yayasan Rancage juga hanya
mengeluarkan dana sekitar 50-an juta?
Kita sadar
memang tak hanya soal sastra daerah yang harus diurus oleh Pemda. Persoalan
sastra hanya menjadi bagian kecil dari persoalan budaya Jawa yang kompleks yang
semua itu perlu ditangani. Tapi, akankah kita merasa bangga jika geliat hidup sastra
Jawa justru berkat kebaikan hati tetangga sementara kita sendiri tak serius
memeliharanya? Semoga saja hal ini tidak menjadi sebuah ironi. Karenanya Pemda
harus cepat mengambil sikap agar keberadaan sastra Jawa tidak bergantung pada
kemurahan pihak lain.
Apalagi, saat
ini telah lahir UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU itu (pasal 42) dinyatakan dengan
jelas ”Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa
dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan
bermasyarakat ....” Kalau Pemda mau menjadi penaung (maecenas) yang kuat
bagi sastra Jawa; tentu ini akan menjadi salah satu perwujudan sikap setia
terhadap hukum dan undang-undang. ***
Yogyakarta, Juni 2010.