Orang-Orang Bloomington Budi Darma: Corak Baru Cerpen Indonesia
Friday, December 16, 2016
Edit
Membaca
esei-esei Budi Darma kita merasa apa yang ditulisnya merupakan pokok soal yang
memperkuat pendapat dan keyakinan dalam cerpen-cerpennya. Hal itu tampak pada
pendapatnya tentang dunia sastra merupakan dunia jungkir balik. Katanya, karya
yang bernilai sastra adalah karya yang justru menggambarkan dunia yang tidak
beres. Seolah dunia yang mengungkap kebenaran abadi adalah dunia yang jungkir
balik, tanpa moral, tanpa logika, dan bertentangan dengan akal sehat.
Pendapat inilah yang mewarnai
cerpen-cerpen Budi Darma, tanpa kecuali. Dari sekian puluh cerpen yang
dipublikasikan di majalah sastra Horison, agaknya baru ada satu buku yang
khusus memuat cerpen-cerpen Budi Darma, yaitu Orang-Orang Bloomington yang diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1980.
Buku itu memuat tujuh cerpen, yaitu "Laki-laki Tua Tanpa Nama",
"Joshua Karabish", "Keluarga M", "Orez",
"Yorrick", "Ny. Elberhart", dan "Charles
Lebourne".
Membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan ini kita seolah dihanyutkan ke suatu tempat yang terasing bagi dunia kita. Tetapi, meskipun cerpen-cerpen ini dilatari sistem budaya Barat ala Boomington (New York), seolah kita juga, meski secara dipaksakan, terjun ke dalam sistem budaya itu. Kita seperti terjepit dalam situasi yang serba asing sehingga tokoh "saya" (sebagai manusia Timur) seolah mengalami perdebatan seru dengan dirinya sendiri. Sudut pandang "saya" yang dipergunakan Budi Darma kiranya mampu mewakili situasi kondisi orang-orang Timur yang mempunyai ciri khas dan bahkan bertentangan dengan Barat, yang berusaha sekuat tenaga untuk beradaptasi dengan dunia Barat yang khas pula.
Membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan ini kita seolah dihanyutkan ke suatu tempat yang terasing bagi dunia kita. Tetapi, meskipun cerpen-cerpen ini dilatari sistem budaya Barat ala Boomington (New York), seolah kita juga, meski secara dipaksakan, terjun ke dalam sistem budaya itu. Kita seperti terjepit dalam situasi yang serba asing sehingga tokoh "saya" (sebagai manusia Timur) seolah mengalami perdebatan seru dengan dirinya sendiri. Sudut pandang "saya" yang dipergunakan Budi Darma kiranya mampu mewakili situasi kondisi orang-orang Timur yang mempunyai ciri khas dan bahkan bertentangan dengan Barat, yang berusaha sekuat tenaga untuk beradaptasi dengan dunia Barat yang khas pula.
Pengadaptasian yang agak dipaksakan
itulah yang menimbulkan tipe watak tokoh yang tidak menentu. Kadang ia berlagak
pahlawan tetapi terkadang sebaliknya, yakni pengecut, pendendam, atau kalau
perlu harus bertindak begitu untuk membebaskan dirinya. Begitulah seterusnya
sampai pada akhirnya kita hanya bisa menarik kesimpulan bahwa cerpen-cerpen ini
mengandung tema kesengsaraan, keterasingan, dan ketidakmenentuan.
Dalam semua cerpennya agaknya Budi
Darma sekaligus “masuk” ke dalam tokoh utamanya di samping sebagai narator yang
memainkan tokoh-tokoh itu. Bahkan dalam kesengsaraan dan keterjepitan itu ia
sendiri yang kelihatan memaksakan diri sebagai pahlawan untuk menerobos
masyarakat yang metropolis. Walau bagaimanapun gigihnya, ia tidak bisa lepas
dari ciri pribadinya sebagai orang Timur yang konon terdidik dalam masyarakat
yang nonmetropolis. Itulah sebabnya, tindakan-tindakan dan peristiwa yang
dialaminya benar-benar jungkir balik.
Dalam dua cerpennya, "Laki-laki
Tua Tanpa Nama" dan "Joshua Karabish", sang narator (Budi Darma)
adalah orang asing. Artinya, sebagai narator ia adalah orang asing dalam arti
tidak terlibat langsung dalam pergulatan peristiwa sebab pada waktu menulis
cerpen ini ia (Budi Darma) berada di London dan Paris meskipun kisah ceritanya
tentang orang Bloomington. Hal itu terlihat dalam "Laki-laki Tua Tanpa
Nama". Dalam cerpen ini Budi Darma hanya sebagai pengamat yang dengan gaya
"saya" menyaksikan peristiwa adanya laki-laki tua aneh yang menyewa
kamar di rumah Ny. Casper dan mempunyai kebiasaan seperti orang keserupan sebab
selalu membidikkan pistol setiap hari. Tetapi pada peristiwa lain si narator
(Budi Darma) melihat laki-laki tua itu telah tewas ditembak Ny. Nolan. Karena
itulah, narator dalam cerpen ini adalah orang asing, dalam arti orang yang
hanya menyaksikan sebuah peristiwa saja.
Begitu juga cerpen "Joshua
Karabish", narator hanyalah menyaksikan Joshua yang ketika itu tiba-tiba
meninggal gara-gara penyakitnya yang tak dapat disembuhkan. Dalam hal itu
narator pun tidak melihat sendiri, tetapi hanya melihat datangnya surat dari
ibu Joshua yang mengabarkan bahwa dirinya (narator) diminta untuk mengirimkan
semua barang-barang milik Joshua sebab Joshua telah meninggal. Inilah yang
menyebabkan narator mengalami pergolakan batin antara benci dan kasihan. Benci
karena penyakit Joshua telah menularinya dan kasihan karena tidak tega melihat
teman akrabnya telah menemui nasib malang. Ini pula yang mengakibatkan narator
mengalami kesengsaraan, dan lebih sengsara lagi ketika jasa baik narator “saya”
tidak diterima oleh keluarga Joshua Karabish.
Dalam cerpen yang lain Budi Darma
benar-benar larut dalam seluruh peristiwa cerita. Budi Darma benar-benar
sebagai subjek yang dinamis yang berkecimpung dalam situasi soaial yang
akhirnya mengalami keterasingan. Dalam "Keluarga M", misalnya, Budi
Darma menyajikan keterasingan manusia karena terjepit oleh tatanan masyarakat
metropolis yang seram. Keterasingan lebih dirasakan lagi ketika Keluarga M
(Melvin, Marion, Mark, dan Martin) menolak jasa baiknya. Agaknya dalam
dunia ini ada hubungan yang formal
antara kemandirian dalam hidup sehingga tidak sembarang pemberian atau jasa
baik dapat diterima.
Dalam cerpen "Orez" Budi
Darma berperan sebagai salah seorang warga yang ingin mencari "jati diri" di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu, walaupun resikonya terlalu besar ia tidak juga gentar
menerima Hester Price sebagai istrinya. Inilah cerpen Budi Darma yang disajikan
dengan baik dan menonjolkan tanggung jawab seseorang sebagai manusia yang
manusiawi. Cerpen yang agak kedodoran adalah cerpen "Yorrick". Dalam
cerpen ini hanyalah dikisahkan bahwa "saya" sebagai manusia yang kurang
dapat mengadaptasikan diri dengan adat pergaulan sehingga ia mengalami
kesengsaraan karena cintanya kepada Chaterine dan Caroline tak mendapat
tanggapan. Karena kurang gesit dalam pergaulan itu akhirnya kedua gadis itu
menjadi milik orang lain. Kejadian semacam ini menimbulkan rasa benci kepada
pemuda rivalnya yang kemudian hati kotornya ditumpahkan kepada semua orang.
Pada dasarnya cerpen-cerpen yang
telah disebutkan itu semuanya disajikan oleh manusia yang tergencet oleh adanya
pertentangan latar sosial yang gerai, kejam, dan individualistik. Tetapi
barangkali itu telah sesuai sebab latarnya adalah masyarakat metropolis yang
terkenal individualis dan egois. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
hubungan manusia yang tidak lagi alamiah, tetapi hubungan mereka telah
terperangkap oleh kepentingan sehingga manusia menjadi korban.
Hubungan semacam itu tampak jelas
pula dalam cerpen "Ny. Elberthart" dan "Charles Lebourne".
Hubungan antara "saya" dengan Ny. Elberhart hampir-hampir tak
bernalar sebab hanya berdasarkan kepentingan. Begitu juga dalam "Charles
Lebourne". Dalam cerpen ini dikisahkan hubungan "saya" dengan
Charles Lebourne yang konon, menurut cerita ibu, adalah ayah "saya".
Meski demikian, "saya" tidak peduli apakah dia itu ayah atau bukan,
yang terpenting adalah usaha "saya" untuk menemui Charles Lebourne
yang sebelumnya telah mengganggu dan membuat “saya” sengsara. Begitu pun
sebaliknya, Charles Lebourne tidak peduli itu anak atau bukam, tetapi ia
("saya") telah mengganggu ketenteraman hatinya. Inilah hubungan
manusia berdasarkan kepentingan, bukan hubungan wajar dan lumrah sebagaimana
hubungan manusia pada umumnya.
Demikian cerpen-cerpen Budi Darma
yang terkumpul dalam buku Orang-orang
Bloomington. Budi Darma dengan gaya "saya"-nya menunjukkan gejala-gejala
baru dalam khasanah penulisan cerpen Indonesia. Kalau Danarto menggarap
cerpennya dengan dunia mistik, falsafi, dan wayang; atau Iwan Simatupang dan
Putu Wijaya tampil dengan dunia imajiner, Budi Darma tampaknya tampil dengan
corak yang baru, yaitu gaya "saya" sebagai ciri khas
kepengarangannya.
Gaya semacam ini kiranya dapat
disejajarkan dengan gaya Umar Kayam seperti tampak dalam cerpen-cerpennya yang
ditulis di Amerika, misalnya, cerpen "Seribu Kunang-Kunang di
Manhattan". Tetapi, Budi Darma agaknya sedikit lebih berhasil meleburkan
diri dalam situasi sosial yang ditempatinya. Budi Darma telah berusaha menjadi
warga negara yang sah di Bloomington. Kekhasannya sebagai orang Timur hampir
hilang, tidak seperti Umar Kayam yang masih terlihat jelas sifat ketimurannya,
meskipn kadang-kadang seperti dipaksakan.
Ditinjau secara formal-struktural,
cerpen-cerpen Budi Darma masih mengikuti logika tradisional karena plot dan
cerita disajikan secara jelas dan mudah dipahami. Hanya saja, tokoh-tokoh yang disajikan
terasa agak aneh. Keanehan inilah yang mungkin menyebabkan Budi Darma
digolongkan sebagai pengarang dengan corak baru dalam kondisi percerpenan
Indonesia tahun 70-an. Karena corak baru itu pula, Budi Darma akhirnya mendapat
kehormatan, yaitu empat cerpennya dimuat di Horison edisi khusus, April 1974,
yaitu "Kristus Adinan", "Dua Laki-Laki", "Secarik
Surat", dan "Laki-Laki Setengah Umur". Dan dalam majalah itu
dimuat pula esei Harry Aveling berjudul "Dunia Jungkir Balik Budi
Darma" dan wawancara Sapardi Djoko Damono dengan Budi Darma. ***
Prioritas,
18 Januari 1987