Ny. Talis Budi Darma: Perlu Penerangan Eksistensi
Thursday, December 15, 2016
Edit
Ny.
Talis (Kisah Mengenai Madras) adalah novel ketiga karya Budi Darma.
Novel tersebut ditulis di Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, dalam waktu
relatif singkat, yakni dua bulan, mulai tanggal 9 November 1990 sampai 8
Januari 1991 (Darma, 1996), pada saat Budi Darma sedang bertugas melakukan
penelitian tentang modernisme sastra Inggris dan Amerika. Akan tetapi, novel
dengan ketebalan 233 halaman tulisan tangan (setelah terbit menjadi 267
halaman) tersebut baru diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, pada tahun 1996.
Membaca
Ny. Talis memang terasa berbeda dengan membaca Olenka dan
Rafilus atau membaca Orang-Orang Bloomington. Kalau di dalam dua
novel dan cerpen-cerpen sebelumnya kita akan dihadapkan pada sekian banyak
fantasi dan imaji-imaji yang liar, keras, aneh, dan menegangkan, di dalam novel
terakhirnya ini kita hanya disuguhi sesuatu yang biasa-biasa saja. Artinya,
benar bahwa memang gaya Budi Darma dalam bercerita dan kepiawaiannya membangun
peristiwa yang sensasional masih demikian khas, tetapi cara penyajian
seperangkat fakta sastra sebagaimana biasa ditampilkan di dalam karya-karya
sebelumnya tidak terlihat kental di dalam novel ini.
“Ya...
ya... saya kira Ny. Talis berbeda dengan karya-karya lain terdahulu.
Meskipun masalahnya sama, yakni tentang pencarian identitas dan jatidiri manusia,
tetapi cara penceritaannya berlainan. Lebih realistis, lebih mendekati
kehidupan sehari-hari,” demikian pengakuan Budi Darma dalam sebuah wawancara
dengan dua orang wartawan Surabaya Post, Adriono dan Gatot Susanto (lihat Surabaya
Post, 14 Juli 1991).
Memang
benar bahwa Ny. Talis mengungkapkan sebuah persoalan identitas dan jati
diri yang selamanya tidak pernah akan dapat dipecahkan oleh manusia. Mengapa demikian? Sebab, persoalan identitas
dan jati diri tersebut hanyalah berupa serangkaian pertanyaan yang tidak
mungkin terjawab. Mengapa manusia itu harus lahir, mengapa manusia itu makin
lama makin tua, dan mengapa harus meninggal? Dan mengapa seseorang mempunyai
takdir yang lebih baik atau lebih buruk daripada orang lain? Mengapa pula orang
yang baik hati mempunyai nasib yang buruk dan sebaliknya yang buruk justru
bernasib baik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang disodorkan oleh Budi Darma
kepada kita (manusia) di dalam dan lewat novel ini. Itulah sebabnya, yang kita
jumpai ketika kita mencoba untuk menerobos simbol-simbol fiksional ciptaan Budi
Darma ini hanyalah semacam perpaduan sekian banyak masalah di seputar esensi
dalam batin dan jiwa seperti emosi, kebencian, cinta kasih, ketakutan,
kebahagiaan, dan sejenisnya.
Jika
kita amati kisah tokoh-tokoh di sepanjang alur ceritanya, di antaranya tokoh
Madras, Ny. Talis (perias pengantin), Santi Wedanti (penyanyi), Wiwin
(pelukis), dan sebagainya, dapat kita temukan beragam persoalan yang bergayut
erat dengan keberadaan atau eksistensi manusia. Berbagai persoalan eksistensi
manusia itu antara lain tampak di dalam beberapa ungkapan berikut.
“...
Barulah, tadi malam, saya memperoleh mimpi yang nyaman. Tapi, setelah mimpi
berlalu, saya jadi ragu, apakah mimpi saya benar ada. Maka, begitu bangun saya
lari ke cermin. Saya lihat, saya ada. Tapi, benarkah laki-laki itu ada? Kalau
benar ada, mengapa mimpi saya seolah menjadi tidak ada?
Madras
pernah menghadiri sebuah ceramah Guru Besar Matematika mengenai ada dan tidak
ada. Maka, di bawah tulisan Santi Wedanti dia menulis, “Yang ada, itu ada. Yang
tidak ada, itu ada.” (Ny. Talis, 1996:37).
“Dia
heran. Sejak dia masih kecil, setiap kali melihat upacara pemakaman, dia merasa
bahwa apa yang dia lihat sama sekali tidak nyata. Pernah dia menyaksikan
upacara pemakaman dari helikopter. Cuaca sedang baik. Dan tanpa peduli apakah
dia mengganggu jalannya upacara atau tidak, dia terbang rendah. Tetapi dia
merasa, bahwa pandangan matanya tertutup oleh kabut. Upacara pemakaman bagi dia
adalah peristiwa nyata yang tidak pernah nampak nyata.” (Ny. Talis,
1996:77).
“Justru
itu, Anggle. Tidak ada sesuatu yang tidak ada, yang berbicara kepada sesuatu
yang tidak ada, mengenai sesuatu yang tidak ada.” (Ny. Talis, 1996:113).
Kisah
di dalam novel Ny. Talis sesungguhnya sangat sederhana, yaitu sejarah
perjalanan hidup tokoh utama Madras mulai dari lahir ke dunia, menjadi dewasa,
menjalin cinta, menikah, mempunyai anak, cucu, menjadi tua, sampai pada
akhirnya meninggal. Akan tetapi, di setiap jengkal peristiwa yang membangun
struktur plotnya terdapat dialog, monolog, dan deskripsi-deskripsi yang
mengungkapkan konsep dan pemikiran filosofis. Secara eksplisit tampak bahwa
seluruh kisah di dalam novel itu telah dijiwai oleh pernyataan yang digambarkan
di dalam bagian awal novel (bagian I/1).
“Tengoklah
kembali sejarah Perang Dunia II. Kita pasti akan menemukan nama Benito Amilcare
Mussolini. Dialah diktator Itali. Bersama-sama dengan Jerman dan Jepang, dia
berusaha merangsak dunia. Dialah yang mula-mula tumbang, sebelum akhirnya
disusul oleh hancurnya Jerman dan runtuhnya Jepang. Apa yang dia katakan
setelah dia terkapar, tidak punya harga, dina, dan melata? “Inilah takdir saya.
Dari debu, naik ke kekuasaan. Dan dari kekuasaan, kembali ke debu.”
Dia
berbicara mengenai dirinya sendiri. Ambisi, kejayaan, dan kehancuran. Itulah
yang dia bicarakan. Dia lupa bahwa manusia, jadi bukan hanya dia, memang
berasal dari tanah. Dan karena berasal dari tanah, mau tidak mau manusia akan
kembali ke situ.
Oleh
karena itu terceritalah, ada seorang anak bernama Madras. Setiap hari dia
melihat debu beterbangan. Dan setiap hari dia berhadapan dengan alam. Sering
dia mendengar suara hujan mendayu, melihat jenazah diangkut ke makam, dan
merasakan panasnya siang dan dinginnya malam. Naluri dia sudah berkata, bahwa
alam kadang-kadang lunak, kadang-kadang tidak.” (Ny. Talis, 1996:1)
Di
dalam kutipan tersebut digambarkan dengan jelas perihal sejarah Perang Dunia II
di Eropa. Seorang diktator Itali, bernama Benito Amilcare Andrea Mussolini, di
tengah kehancurannya berkata kepada dirinya sendiri, “Inilah takdir saya. Dari
debu, naik ke kekuasaan. Dan dari kekuasaan, kembali ke debu.” Di dalam kutipan tersebut juga terdapat pernyataan,
“Dan karena berasal dari tanah, mau tidak mau manusia akan kembali ke
situ.” Pernyataan demikian
mengindikasikan bahwa berbagai persoalan yang muncul di dalam novel Ny.
Talis berkait erat dengan konsep filsafat eksistensi. Lagipula,
eksistensialisme di dalam sastra memang timbul akibat kesengsaraan yang diciptakan
oleh Perang Dunia II di Eropa (Darma, 1993).
Para
eksistensialis berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia sebagai eksistensi
selalu berada di dalam “situasi-situasi batas” (Hamersma, 1985). Itulah
sebabnya, sejak awal hingga akhir tokoh-tokoh di dalam Ny. Talis tidak
mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dan atau disodorkan kepadanya.
Mengapa tidak mampu menjawab? Hal itu terjadi tidak lain karena manusia
senantiasa berada dalam “situasi-situasi batas” yang selamanya tidak pernah
dapat dijelaskan.
Demikianlah,
akhirnya, yang terlihat dalam novel terbaru Budi Darma tersebut hanya suatu
proses, yaitu proses mencari dan terus mencari; dalam arti tokoh-tokohnya terus
mencari jawaban--kendati tidak pernah berhasil--atas pertanyaan menyangkut
keberadaan (eksistensi), jatidiri, atau identitasnya. Untuk mengetahui lebih
jauh tentang persoalan ini, sekaligus apabila kita berhadapan dengan pertanyaan
bagaimanakah manusia itu seharusnya hanya dapat dilacak dan atau
diterangkan melalui konsep dan penerangan-penerangan (filsafat)
eksistensialisme (Karl Jaspers, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, atau yang
lain). Namun, tentu saja, hal ini perlu penelitian dan pemahaman lebih lanjut.
***
Kedaulatan
Rakyat, 1996