Novel Pol: Pertemuan Putu Wijaya dengan Semar
Wednesday, December 14, 2016
Edit
Wayang
tampaknya merupakan dunia tersendiri yang hidup kokoh dan memiliki masyarakat
penggemar tersendiri pula. Bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali, wayang
barangkali dapat dianggap sebagai lembaran cermin hitam putih, benar salah,
baik buruk, atau sebagai sumber nilai etika. Etika wayang tampak menyatu dalam
diri mereka. Jika orang menyebut nama Kurawa,
pastilah di benaknya tergambar sebuah lembaran hitam, penuh nafsu ambisi; dan
sebaliknya, jika orang menyebut nama Pandawa,
berarti di benak mereka tergambar bayangan putih, bersih, dan penuh kebajikan. Tampaknya
etika wayang inilah yang mengilhami Putu Wijaya dalam menggarap novel Pol yang diterbitkan oleh Grafiti Pers,
1987.
Kendatipun etika wayang merupakan salah satu hasil kebudayaan klasik yang
adilihung, tetapi karena Putu Wijaya berhasil mengolah dengan gaya dan
bahasa yang kontemporer, masa kini, maka berbagai peristiwa dalam novel itu pun
tersaji mengalir dengan bersih, segar, dan tetap menghanyutkan pembaca untuk
menuntaskan ceritanya. Inilah salah satu ciri unik sastrawan “serba bisa” kelahiran Tabanan, Bali,
pada 11 April 19944 itu. Ia memang piawai dalam bercerita, dan ketajaman
intuisi serta imajinasinya membuatnya mampu mengolah hal sekecil apa pun
menjadi tema-tema besar dan beragam.
Begitu pun yang
tersaji dalam novel kecil ini. Putu menghidupkan tokoh wayang, Semar Badranaya, seorang abdi kinasih
keluarga Pandawa, yang muksa dan menjelma dalam diri tokoh Aston, pelaku sentral
dalam novel ini. Barangkali berkat sebuah mitos klasik bahwa Semar adalah tipe batur (pembantu) yang dituntut untuk
berkata jujur, maka Putu Wijaya
menjelmakannya ke dalam diri Aston, sebagai abstraksi Semar, yang diharapkan
kelak sabda pandita Semar dapat
menjadi semacam sabda kebajikan dan kejujuran. Pemilihan teknik penggunaan
sosok Semar oleh Putu tak lain adalah untuk membuka mata masyarakat agar secara
bersama-sama melihat penyakit sosial yang kini banyak melanda dunia modern.
Selain untuk membuka penyakit
sosial, pemilihan teknik tersebut di satu sisi pengarang dapat berbicara secara
leluasa dan bebas, sebagaimana bebasnya Semar dalam konteks wayang, dan ini
sesuai dengan fungsinya sebagai seorang dewa. Dan di sisi lain, Putu pun dapat
dengan leluasa menyuarakan jeritan-jeritan masyarakat kelas bawah akibat korban
keangkuhan zaman, sesuai dengan fungsinya sebagai seorang batur yang selalu jadi bulan-bulanan majikan ala penguasa.
Bertolak dari interpretasi tersebut
kita dapat mengatakan bahwa novel Pol
merupakan novel kritik sosial yang di dalamnya terdapat nasihat-nasihat
adiluhung. Meskipun kritiknya disampaikan secara implisit, dampak dan
bias-biasnya dapatlah kita rasakan karena apa yang diungkap dalam novel itu
memang terjadi di sekitar kita. Oleh karena itu, novel Pol ini memiliki
nilai lebih dibanding novel-novelnya terdahulu. Kalau dalam Telegram (1972) atau Stasiun (1977) Putu lebih asyik dengan
manusia-manusia yang tak berciri realitas dan penuh halusinasi, dalam Pol
Putu lebih menitikberatkan pada persoalan kemasyarakatan. Meskipun di sana sini
masih tampak adanya aliran “bawah sadar”, tetapi “bawah sadar” yang melanda
diri tokoh Aston hanyalah dipergunakan untuk menyambung kesadaran bertindak
sesuai dengan peristiwa yang dihadapinya.
Itulah keunikan novel Putu Wijaya
yang mengangkat tokoh dunia pewayangan. Agar diperoleh gambaran lebih jelas,
mari kita ikuti bagaimana peristiwa dan jalan ceritanya. Dalam novel ini Putu
Wijaya sengaja memilih manusia kumuh, Aston, sebagai tokohnya. Ia adalah
seorang yang hidupnya serba menderita, tak punya pekerjaan tetap, sementara
sang istri, Warni, dan anaknya selalu menuntut dan merengek karena perutnya
lapar. Karena konflik batin yang diakibatkan oleh pertentangan antara “perut
lapar” dan “keadaan dirinya yang melarat” itulah, ia membuat sensasi unik yakni
berkata bahwa ia telah bermimpi melihat Semar.
Kemudian gemparlah seluruh penjuru
kampung. Karena seluruh penduduk percaya bahwa Semar adalah semacam dewa yang
membawa berkah, maka mereka (orang-orang kampung) berdatangan menemui Aston.
Bahkan mereka berharap agar Aston mau bercerita apa saja yang telah dikatakan
oleh Semar kepadanya. Nah, saat inilah Aston memulai perannya untuk
mempengaruhi penduduk. Dan ternyata berhasil. Sejak saat itu, Aston mendapatkan berbagai bantuan
berupa pangan, sandang, dan lainnya. Pendek kata, kehidupan Aston dan anak
istrinya meningkat lebih baik.
Namun,
tak lama kemudian, Pak RT, Ayat (Hansip), dan Ceu Epon (pedagang beras) merasa
kecewa dan takut atas kedatangan wartawan dan orang-orang asing (orang dari
luar kampung itu) sebab orang-orang asing itu dianggap berbahaya. Mereka takut
rahasia kampung yang sekian lama dipegang (yakni adanya penyelundupan narkotik
dan monopoli beras) akan terbongkar. Karena itulah, Pak RT dan Hansip itu
selalu menghalangi pertemuan orang asing itu dengan Aston. Nah, saat inilah
Aston bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Akibatnya, Aston berkata bahwa
tidak pernah lagi bertemu dengan Semar. Dan karena tidak pernah ada lagi cerita
tentang Semar, maka secara otomatis sumbangan dan bantuan dari orang lain pun
macet. Akibatnya, keadaan Aston dan istrinya kembali seperti semula: Aston jadi
penganggur dan Warni istrinya jadi tukang cuci.
Demikian
cerita singkat novel Pol karya Putu
Wijaya. Meski sepintas kita dapat melihat bahwa novel ini sebagai potret orang
kumuh/miskin, namun sesungguhnya di balik itu tersembul simbolisasi kritik atas
keadaan masyarakat yang sakit. Putu menampilkan tokoh Semar sebagai unsur mimpi
Aston hanyalah sebagai sarana pengungkap bahwa di kampung itu terdapat basis
penyelundupan narkotik. Begitu juga di kampung itu terjadi penyelundupan beras
yang dilakukan Ceu Epon (warga keturunan Cina).
Kalau
kita cermati lebih teliti, sebenarnya sumbangan-sumbangan dari warga yang diberikan
kepada Aston hanyalah untuk menutupi agar si Semar (Aston) tidak membuka tabir
(rahasia) yang selama ini dipegang oleh para punggawa kampung itu, yang
terutama adalah Pak RT, Ayat, dan Ceu Epon. Tampaknya ketiga orang itu memang
telah memiliki suatu organisasi kecil, yakni Pak RT berperan sebagai ujung
tombak dan pelindung; Ceu Epon berperan sebagai pengusaha; Ayat sebagai
keamanan; dan hidup mati mereka bergantung satu sama lain.
Sebagai sastrawan kontemporer yang
selalu melakukan eksperimen seperti halnya Iwan Simatupang, Danarto, dan Budi
Darma, yang pada masa-masa selanjutnya juga dianut oleh beberapa pengarang
muda, Putu Wijaya suka menjungkirbalikkan pikiran-pikiran waras dan tidak
waras. Ia selalu menguak berbagai masalah yang membelenggu batin, kontra batin
dan fisik, kontra situasi dan tuntutan, dan seterusnya. Dan tampaknya, Putu
Wijaya akhir-akhir ini lebih realistis dalam memandang masyarakat dan segala
liku-liku kehidupannya; seperti tersirat dalam novel ini bahwa ia ingin
menghilangkan mitos "yang kaya makin kaya dan yang miskin makin
miskin" dan mengajak masyarakat untuk bersikap kritis. ***
Pikiran
Rakyat, September 1988