Nilai-Nilai Islami Karya Fiksi Mohammad Diponegoro
Wednesday, December 14, 2016
Edit
Mohammad Diponegoro
tergolong sebagai salah seorang sastrawan muslim terkemuka Indonesia, selain
A.A. Navis, Hamka, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M., Djamil Suherman, dan Achmad
Tohari. Sumbangannya bagi sastra Indonesia terbilang sudah cukup besar. Selain
pintar menerjemahkan Alquran secara puitis, misalnya dalam Pekabaran (1977) dan Kabar
Wigati dari Kerajaan (1985), ia juga menulis novel Siklus (1975), antologi cerpen Odah
(1986), drama Iblis (1983) dan Surat pada Gubernur (thn …?). Tetapi,
sayang sekali sastrawan kelahiran Yogyakarta, 28 Juni 1928, ini telah dipanggil
Tuhan untuk selamanya (9 Mei 1982). Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, ada
baiknya jika kita kaji kembali renik-renik Islami dalam beberapa karya fiksi
yang telah dihasilkannya.
Kelebihan
Mohammad Diponegoro dalam menulis fiksi terletak pada kemahirannya memadukan
kata-kata, imaji-imaji, simbol-simbol menjadi sebuah cerita yang padat dan
mengesankan sehingga menyiratkan makna yang pekat, menimbulkan renungan yang
dalam. Lagi pula, cerita itu penuh dengan suspense
sehingga pembaca dibuat tak berkutik dan ingin cepat menyelesaikan bacaannya.
Karena itulah, Taufiq Ismail memberi predikat kepadanya sebagai insinyur cerpen karena ia mampu merakit spare
part yang terpisah-pisah menjadi sebuah bangunan baru yang terpadu yang
sarat makna dan fungsional.
Namun, satu hal yang jarang
disinggung pada setiap pembicaraan karyanya adalah nilai-nilai Islami yang
justru sangat dominan itu. Umumnya mereka sangat terpaku pada makna struktural
dan pola-pola di dalamnya. Padahal, justru renik-renik Islami yang ada di
sebaliknyalah yang mampu “merontokkan” batin kita. Sehingga kita dipaksa untuk
bergumul dengan nuansa kemanusiaan yang religius dan religiositas. Bukankah
kita senantiasa membutuhkan nuansa itu?
Dalam karya fiksinya, pesan Islami
secara implisit agaknya telah diolah dalam novel siklus (1975). Pesan Islami dalam novel ini terkesan amat dalam
sehingga lebih dekat dengan makna religiositas. Hal inilah yang membedakan
Mohammad Diponegoro dengan Hamka, Navis, atau Djamil Suherman, yang umumnya
mereka menyampaikan pesan Islami secara vulgar. Misalnya, Djamil terlalu
eksplisit mengedepankan dunia pesantren dan Navis agak eksklusif mengemukakan
dunia perkiaian. Renik-renik makna demikianlah yang justru mampu membuat
pembaca melakukan kajian ulang dan renungan.
Lewat tokoh John Flechter, Susan
Flechter, Amir, dan Darsono, pengarang mengajak kita untuk merenungi
sebab-akibat antara iman dan tindakan sehari-hari. Melalui peristiwa, tokoh,
setting, dan alurnya, setidaknya kita bisa menemukan empat pesan utama. Pesan
itu ialah (1) perkawinan beda usia terlalu jauh akan membawa ketidakharmonisan,
dan hal ini terjadi pada tokoh John dan Susan; (2) orang yang terlalu sibuk
dengan pekerjaannya akan menyebabkan kewajiban lainnya tidak beres; (3)
betapapun inteleknya seseorang, jika tidak memiliki iman yang kuat, ia akan
mudah terjerumus ke arah syirik, dan ini menimpa tokoh Amir yang memberhalakan
azimat berupa kalung; dan (4) walaupun orang hanya sederhana, tetapi bila ia
memiliki iman yang kuat, ia akan senantiasa bertindak konsekuen seperti tampak
pada diri tokoh Darsono.
Jika kita kaji ulang, masalah iman
dalam novel ini memang hanya disampaikan secara “tertutup”. Karena itulah,
nilai-nilainya justru hanya dapat dirasakan lewat tindakan sehari-hari, lewat getaran hati nurani, karena sifatnya
yang amat religiositas. Kiranya memang tepatlah dalam novel ini pengarang
mempertemukan dua hal penting, yakni azimat
yang syirik dengan iman manusia. Harapan kita, dari pertemuan itu akan
diperoleh “nilai baru” yang mengatasi segalanya. Agaknya nilai atau nuansa
inilah yang hingga kini masih kita butuhkan; dan barangkali alasan ini yang
menyebabkan novel tersebut memperoleh hadiah dalam sayembara mengarang roman
pada Tahun Buku Internasional DKI Jakarta 1972.
Kendati demikian, beberapa tahun
kemudian, eksistensi Mohammad Diponegoro agaknya sedikit bergeser. Ini telihat
jelas pada nuansa-nuansa cerpennya. Nilai Islami dalam beberapa cerpennya
terkesan vulgar dan terlalu eksklusif. Walau kesan itu tidak mengurangi bobot
sastra dan nilai Islaminya, namun ada kesan bahwa pembaca hanya disodori
sesuatu yang “dogmatis” sehingga
kurang mampu menimbulkan renungan-renungan karena pesan itu seolah sudah pasti
berasal dari Kitab Suci.
Hal tersebut, tampak jelas dalam
cerpen “Kadis” (Horison,
Juni 1984). Cerpen yang mendapat hadiah pada
sayembara majalah Kartini (1980) ini mengisahkan tokoh Kadis yang setiap
harinya hanya pergi mengaji tetapi di sisi lain ia lupa akan tugasnya dalam
keluarga. Karena sikap Kadis demikian, istrinya (Dalijah) senantiasa protes
terhadap suaminya yang tak pernah bekerja mencari uang. Yang lebih
memprihatinkan, kepergian Kadis mengaji hanyalah semata untuk meminta-minta
rezeki dari orang yang didatanginya. Hal inilah ynag membuat Haji Dhofir marah.
Berkat kemarahan dan nasihat Haji Dhofir, akhirnya Kadis sadar, dan ia kemudian
menjadi tukang sembelih binatang yang cukup sukses.
Kevulgaran pesan Islami dalam cerpen
tersebut tampak pada nasihat Haji Dhofir kepada Kadis. Ini bisa disamakan
dengan nasihat pengarang kepada pembaca dan kita semua. Karena itulah kita
seolah hanya mendengar “khotbah” tanpa kita harus merenungkannya. Pesan itu
ialah “dalam hidup, manusia harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan dunia
dan kepentingan akhirat; selain bekerja seseorang juga harus beribadah, atau
sebaliknya.” Renik-renik Islami demikian, agaknya juga kita temukan dalam
cerpen “Alice” dan “Bubu Hantu”. Dua cerpen ini terkumpul dalam antologi Odah dan Cerita Lainnya (Shalahuddin
Press, 1986).
Lewat cerpen “Alice” pengarang
mengajak kita (pembaca) untuk merenungi iman manusia dalam menghadapi hawa
nafsu. Labih jelasnya, pesan utama cerpen ini ialah pada dasarnya manusia
dituntut untuk selalu mematuhi perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Jika
manusia hanya menuruti hawa nafsu, ia akan menemukan ketidakberdayaan.
Sementara, soal iman yang ditampilkan lebih dalam dan intens terlihat pada
cerpen “Odah”. Lewat tokoh Odah pengarang mengajak pembaca untuk meyakini bahwa
sesungguhnya Tuhan itu ada. Kita disodori suatu pernyataan bahwa selain dunia
ini, masih ada dunia lain lagi, yakni “dunia” yang hanya diketahui dan dimiliki
Tuhan.
Nuansa Islami yang kental dan cukup
membuat kita terenyuh kita dapati pada diri tokoh Kakek Jambali dalam cerpen
“Persetujuan dengan Tuhan.” Tokoh ini mengadakan perjanjian dengan Tuhan, yakni
akan mewujudkan cita-citanya membuat jembatan yang menghubungkan tebing satu
dengan tebing lainnya. Anehnya, hal itu dilakukan sendiri; dan bahan-bahannya
pun hanya berasal dari rotan dan akar tumbuhan. Perbuatan tokoh ini dimaksudkan
sebagai balas budi, sebab dirinya pernah mengalami peristiwa tragis, yakni
menantu dan anaknya tewas akibat jatuh ke jurang itu. Atas kejadian tragis
itulah sang Kakek berjanji kepada Tuhan akan membuat jembatan agar nanti bisa
bermanfaat bagi banyak orang.
Sementara itu, masalah iman yang
dimodifikasi dengan kekuatan gaib terlihat jelas dalam dua cerpennya, yaitu
“Istri Sang Medium” dan “Bubu Hantu.” Tersirat dalam dua cerpen ini bahwa
sebenarnya kekuatan gaib tidak datang dari siapapun kecuali dari Tuhan. Bagi
manusia, kekuatan gaib seperti hantu, misalnya, memang menakutkan, namun jika
manusia beriman kuat, pasti tidak akan takut kepada hantu. Hantu akan mudah
diusir jika manusia selalu membaca ayat-ayat suci Alquran. Kejadian seperti
inilah yang menunjukkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Tuhan atas makhluk
apa pun.
Satu hal agaknya pantas dicatat
bahwa beberapa cerpen terakhir itu terkesan terlalu “menggurui” dan berupa
“khotbah pengarang.” Namun, bagaimana pun nuansa religiusnya tetap kuat
sehingga pembaca merasa “dituding” agar senantiasa memperbaiki iman dan
tindakannya. Tapi realitas ini memang amat wajar, sebab walau Mohammad Diponegoro
bukan seorang guru, tetapi karena ia seorang muslim yang taat, dalam segala
tindakannya pun seolah mengajari orang lain. Walaupun, sesungguhnya dia sendiri
tidak sadar dan tidak bermaksud untuk menggurui orang lain.
Sebagai sastra Islam, karya-karya fiksi
Mohammad Diponegoro mengandung dua dimensi, yaitu dimensi religius-agamis dan
religius-otentik. Dimensi pertama lebih tampak formal, eksklusif, dan vulgar.
Sementara dimensi kedua lebih tampak kental, intens, mampu membangkitkan
renungan hidup lebih dalam, dan nilai serta nuansanya bisa dipahami lewat
tindakan sehari-hari. Begitulah Mohammad Diponegoro, pengarang yang pantas
menjadi teladan. Mungkin, “kelebihan” Mohammad Diponegoro akan menjadi lebih
jelas jika kita lebih intens mengaitkannya dengan profesinya sebagai sastrawan,
agamawan, dan teaterawan. Namun sayang, ia kini telah pergi meninggalkan
kita.***
Pelita, 30 Juni 1991