Mohammad Diponegoro: Seorang Insinyur Cerpen yang Religius
Wednesday, December 14, 2016
Edit
Dalam
kancah dunia penciptaan cerpen Indonesia, Mohammad Diponegoro memang kurang
begitu populer, tidak seperti Danarto, Putu Wijaya, atau Umar Kayam. Namun,
jika dilihat secara kuantitas, karya-karya cepen yang telah dipublikasikannya
tidak kurang dari 266 buah, baik karya dari tangannya sendiri maupun karya
hasil terjemahannya. Itulah sebabnya, beliau almarhum lebih dikenal sebagai
seorang insinyur cerpen (istilah Taufiq Ismail, dalam pengantar Yuk, Menulis
Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, 1985).
Selain
dikenal sebagai insinyur cerpen, ia lebih dikenal lagi berkat novelnya Siklus (Pustaka Jaya, 1975) dan dramanya
Iblis (1961, diterbitkan tahun 1983 oleh Pustaka Panjimas), di samping aktif
sebagai redaktur Suara
Muhammadiyah dan pendiri teater Muslim
di Yogyakarta. Satu keunggulan lagi yang dimiliki Mohammad Diponegoro adalah
kemahirannya mempuitisasikan ayat-ayat suci Alquran, yang kemudian dihimpun
bersama dengan karya Djamil Suherman dalam buku Kabar dari Langit (Penerbit Pustaka, Bandung, 1988). Data-data
demikianlah yang membuat dirinya memiliki andil besar dalam peta kebudayaan dan
kesenian Indonesia.
Mengingat
jasa-jasa kesenian almarhum (Mohammad Diponegoro meninggal pada 9 Mei 1982) sangat
besar, terutama karena ia adalah seorang
muslim sejati, maka penerbit Shalahuddin Press, sebuah Lembaga Pengembangan
Informasi Dakwah Islam, menerbitkan 14 cerpennya di bawah judul Odah dan Cerita Lainnya (1986). Melihat kepribadiannya yang begitu aktif di
bidang keagamaan, sudah jelas bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku itu
menyiratkan nuansa kemanusiaan yang tentu saja amat relijius. Namun, kita belum
bisa berkata benar apabila kita belum
membaca dan menikmati karya-karyanya itu. Karena itu, marilah kita coba
memahami nuansa-nuansa kehidupan yang religius itu lewat cerpen-cerpennya yang
terhimpun dalam buku Odah ini.
Sebagai
seorang insinyur cerpen, Mohammad Diponegoro tampaknya memiliki nilai lebih
dibandingkan dengan insinyur-insinyur lain di bidang lain. Mengapa demikian,
karena ia tidak hanya mengabdi kepada salah satu bidang (tertentu) saja,
melainkan beberapa bidang kehidupan berhasil dirangkum menjadi satu kebulatan
yang multidimensional. Itulah nilai lebih yang dimilikinya, jadi tidak seperti
insinyur-insinyur lain seperti insinyur pertanian, peternakan, atau listrik,
yang sifatnya terkotak pada bidangnya masing-masing.
Rangkuman
berbagai bidang kehidupan yang berhasil diserap oleh Mohammad Diponegoro itu
kiranya dapatlah kita lihat pada intensitas cerpen-cerpennya, misalnya adanya
pengungkapan tema-tema yang beragam, baik tema moral, sosial, maupun religius.
Sedangkan warna yang mendasari cerita adalah tidak jauh dari kehidupan kita
sehari-hari, bahkan kita semua secara tidak langsung merasakannya. Karena ia
termasuk tokoh perjuang kemerdekaan (pernah berpangkat Letnan Dua dan menjadi
komandan seksi pada Resimen Ontowiryo Divisi III Yogyakarta tahun 1947-1948),
maka warna yang mendasari ceritanya tidak lepas juga dari masalah-masalah
perang.
Kendati
Mohammad Diponegoro menampilkan beragam tema dan masalah kehidupan dalam
cerpennya, namun ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah sebagai sarana
pengungkapan belaka, yang lebih penting ialah
pengabdiannya kepada Yang Maha
Tinggi. Karena itulah, seluruh cerpen dalam buku ini memiliki satu arah dan
tema yang lebih besar, yakni menuju spiritualitas (Islami).
Nuansa-nuansa
kemanusiaan religius (melalui proses spiritualitas) yang dikemukakan Mohammad
Diponegoro tampak jelas misalnya dalam cerpen "Alice",
"Odah", "Istri Sang Medium", "Bubu Hantu",
"Persetujuan dengan Tuhan", dan "Rumah Sebelah". Persoalan
kemanusian yang sederhana namun optimis dalam cerpen "Alice" dapat dikenali
dengan mudah, karena cerpen yang bersifat didaktik-pragmatis ini secara
eksplisit ditujukan kepada pembaca agar pembaca senantiasa mempertahankan iman,
bagaimana menghadapi cobaan dunia, hawa nafsu, dan bagaimana pula cara-cara
menghindari hal-hal yang munkar. Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan
dalam cerpen di atas, cerpen "Odah" juga bersifat didaktik-pragmatis.
Hanya saja, pembaca disuguhi seorang tokoh bocah bernama Odah yang kala itu
terlanda kebimbangan dalam dirinya; apakah Tuhan itu betul-betul ada? Oleh
sebab itulah, tokoh aku (pengarang?) dengan gampang mengatakan bahwa Tuhan Ada.
Kereligiusan
yang tampak dalam cerpen "Istri Sang Medium" dan "Bubu
Hantu" agaknya sedikit berbeda dengan kedua cerpen tadi. Sebab, yang
menjadi fokus perhatian pengarang dalam
kedua cerpen ini adalah manusia yang masih mendewakan adanya kekuasaan
setan atau hantu. Oleh sebab itu, cerpen
"Istri Sang Medium" yang berlatarkan Jepang ini tak lebih hanya
bersifat pragmatis sebab, menurut hemat pengarang, manusia hendaknya tidak boleh
percaya pada seorang Medium (paranormal?) yang menyimpang dari ketentuan agama.
Yang menjadi patokan tunggal hanyalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Hal ini lebih
dipertegas lagi dalam cerpen "Bubu Hantu" yang mengungkapkan bahwa
hanya dengan ayat-ayat suci Alquran-lah segalanya bisa diatasi, termasuk hantu
yang sering mengganggu ketenteraman manusia.
Dalam
cerpen "Persetujuan dengan Tuhan", menurut hemat saya, nilai religius
ditampilkan dengan baik dan terasa menyentuh nurani kita. Betapa tidak? Sebab,
tokoh tua, kakek Jambali, yang hidup menderita di tengah hutan, lagipula
ditinggal mati anak dan menantunya, dengan sisa-sisa tenaganya berhasil
membangun jembatan --dengan bahan rotan-- yang menghubungkan antara tebing yang
satu dengan tebing lain. Di samping karena dorongan batinnya untuk menebus
kematian anak dan menantunya karena tergelincir di antara tebing itu (oleh
karena itu dibangunlah jembatan), juga karena ia telah berjanji dengan
sungguh-sungguh kepada Tuhan. Bahwa hanya dengan jalan itulah dirinya merasa
terlepas dari dosa besar, sebab ia berharap jembatan tersebut dapat berguna
bagi banyak orang di masa datang. Dan ternyata benar, bahwa hanya dalam selang
waktu 10 tahun saja, jembatan itu kelihatan berguna bagi banyak orang.
Nilai
religius yang tidak kalah menariknya terlihat juga dalam cerpen "Rumah
Sebelah". Bila kita membaca cerpen ini, kita seolah akan bertanya kepada
diri sendiri: sudahkah kita menzakatkan harta kita kepada fakir miskin yang
masih berlalu-lalang di depan mata kita? Kalau kita telah semaksimal mungkin
menjalankan perintah agama itu, tentu saja kita bisa bersukur, namun kalau
belum, kita disarankan untuk berbuat kebajikan sesuai dengan apa yang
disyariatkan oleh agama dan Tuhan.
Selain
penampilan nilai religius secara eksplisit seperti yang terlihat dalam
cerpen-cerpen di atas, Mohammad Diponegoro juga menampilkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih menekankan pada unsur keseimbangan antara dunia dan
akhirat. Meskipun secara selintas seolah-olah pengarang hanya mengungkapkan
persoalan dunia saja, tetapi bila kita kaji lebih dalam dan dicoba untuk
dikaitkan dengan apa yang diajarkan oleh agama, tampak bahwa semua itu mengarah
kepada aspek religius yang justru lebih dalam. Itulah pengungkapan nilai
religius yang boleh dikatakan secara implisit. Hal-hal yang diungkapkan
terakhir ini tampak misalnya dalam cerpen "Potret Seorang Prajurit"
dan "Komandan" yang menyuarakan kesengsaraan manusia akibat perang.
Sedangkan "Penatap Matahari" dan "Kakek Dawut yang Tak
Terkalahkan" mengungkapkan peristiwa manusia yang celaka karena
kesombongannya dan cerpen "Lelaki yang Dipanggil Buhlul" menampilkan
nasib manusia yang tragis akibat keadaan sosial ekonomi yang tidak stabil.
Satu
hal lagi yang menarik dalam cerpen-cerpen ini adalah adanya kritik terhadap
situasi masyarakat yang “sakit”. Hal ini tampak dalam "Laut adalah
Rumahnya" dan "Memakai Baju Orang Lain". Sedangkan upaya
pencarian kebebasan manusia sebagai makhluk individu tampak dalam cerpen
"Catatan Seorang Narapidana". Itulah cerpen-cerpen Mohammad
Diponegoro yang menampilkan nilai-nilai religius yang secara implisit mengarah
kepada hakikat hidup manusia di dunia ini.
Bila
ditinjau secara intrinsik, cerpen Mohammad Diponegoro dalam buku ini mudah
dikenali, misalnya, plotnya sederhana, latarnya jelas, tokohnya berdarah
daging, tidak banyak aspek psikologi atau filsafat yang masuk, dan tentu hanya
membaca dengan santai saja kita mudah menangkap maknanya. Apakah pola cerpen
yang demikian lantas bisa digolongkan sebagai cerpen populer atau cerpen yang
kurang berhasil? Tentu saja tinggal pembacalah yang berhak memberikan kriteria
penilaian terhadapnya.
Namun,
yang jelas, kehadiran Mohammad Diponegoro dalam kancah kesusastraan Indonesia
telah kita akui bersama. Bahkan, dia adalah seorang sastrawan yang secara total
mengabdi kepada nilai-nilai Islami. Hal ini tidak hanya dapat dilihat dalam
karya-karya cerpennya, tapi juga novel Siklus
dan drama Iblis yang juga menyuarakan
hal yang sama, yakni religius agamis. Inilah sedikit catatan terhadap Mohammad
Diponegoro sebagai sastrawan yang layak diperhitungkan.***
Kedaulatan
Rakyat, 28 Mei 1989