Menyoal Pembinaan Bahasa di Daerah
Sunday, December 18, 2016
Edit
Sejak
diberlakukannya PP No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25/2000
tentang Kewenangan Pemda (Provinsi) sebagai Daerah Otonom, muncul dilema dalam hal
pembinaan bahasa di daerah. Sebab, PP tersebut mengisyaratkan, persoalan
pembinaan bahasa daerah sepenuhnya jadi tanggung jawab Pemda, sedangkan Pemda sendiri,
seperti termaktub dalam UUD 45 dan GBHN, masih dituntut bertanggung jawab atas
pembinaan bahasa Indonesia. Hal ini tak mungkin diingkari karena bahasa
Indonesia adalah bahasa negara yang menjadi sarana utama perhubungan seluruh
masyarakat (bangsa) Indonesia.
Diakui bahwa
era otonomi daerah memberi peluang lebar bagi kesuburan bahasa (sastra) daerah.
Karena Pemda punya kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangga sendiri, dengan
segala kemampuannya ia dapat menjadikan bahasa daerah tak hanya sebagai lambang
identitas dan kekayaan budaya daerah, tapi dapat pula sebagai kekuatan yang
boleh jadi justru menimbulkan sentimen-sentimen antar-daerah. Sebab, jika tanpa
ada kerja sama lintas-daerah yang diikat oleh rasa kebersamaan dan semangat
kebangsaan, jurang pemisah antara daerah kaya dan miskin akan semakin lebar dan
ujung-ujungnya tentu akan terjadi disintegrasi bangsa.
Karena itu,
mumpung masih berada dalam taraf menemukan format negara-bangsa Indonesia yang
tepat, yang di dalamnya terdapat beragam suku, bahasa, dan budaya, Peraturan
Daerah (Perda) yang mengatur fungsi/ kedudukan bahasa daerah di satu sisi harus
disusun sedemikian rupa sehingga tak menyimpang dari koridor kebangsaan, dan di
sisi lain tak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur
fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu dicari pola keterpaduan
antara Propeda (Program Pembangunan Daerah) dan Propenas (Program Pembangunan
Nasional) bidang kebahasaan dan kesastraan.
Hal tersebut
perlu dilakukan secara hati-hati karena pada hakikatnya kedua program
pembangunan (nasional dan daerah) itu memiliki visi, misi, dan tujuan yang
berbeda-beda. Bahkan, apabila dianalisis permasalahannya, ada hal-hal yang justru
saling bertentangan. Sebab, selama ini yang dinilai menghambat proses pembinaan
bahasa daerah ialah adanya dominasi bahasa Indonesia (dan asing); dan
sebaliknya, proses pembinaan bahasa Indonesia juga terhambat oleh adanya
bermacam bahasa daerah yang masih dipegang kuat oleh masyarakat daerah. Maka,
sekali lagi, perlu ada pola korelatif antara Perda dan PP, antara Propeda dan
Propenas.
Masalahnya sekarang,
sampai di mana persiapan Perda yang hendak dijadikan pedoman bagi pembinaan
bahasa daerah oleh masing-masing daerah? DPRD dan Pemda DIY sendiri, misalnya,
belum juga berhasil menelorkan Perda (apalagi Propeda) bidang pembinaan bahasa
Jawa. Padahal, era otonomi daerah telah berlangsung sejak 2001. Memang benar,
Pemda DIY bekerja sama dengan beberapa instansi terkait telah menyusun draft
Perda. Namun, sayangnya, sampai hari ini draft itu belum juga disahkan
oleh DPRD.
Di sisi lain,
bagaimana keberadaan Politik Bahasa Nasional (PBN) seiring dengan
diberlakukannya otonomi daerah? Apakah masih akan memberlakukan rumusan PBN
1975 produk Orde Baru yang terkonsentrasi pada konsep persatuan dan kesatuan?
Tentu saja, harapan kita, PBN perlu dirumuskan kembali sesuai kepentingan
nasional tanpa menganaktirikan kepentingan daerah. Hanya saja, sampai saat ini
kita juga belum tahu sampai di mana proses penyusunan Propenas bidang kebahasaan
dan kesastraan Indonesia. Apakah ia masih akan terpola pada konsep
“sentralisasi” ataukah akan mencoba mengakomodasi “keberagaman daerah”, itulah
yang masih jadi pertanyaan.
Ada satu
persoalan yang perlu dipikirkan berkait dengan program pembangunan bidang
kebahasaan yang akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga resmi pemerintah di
daerah. Lembaga seperti Balai atau Kantor Bahasa yang berdomisili di hampir
seluruh provinsi di Indonesia, misalnya, selama ini merupakan “lembaga
pemerintah pusat” (di bawah Pusat Bahasa) yang memiliki fungsi dan tugas ganda,
yakni melakukan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia, di samping bahasa dan
sastra daerah.
Dalam konteks
yang lebih luas jelas Balai Bahasa mengemban tugas “keindonesiaan” dan tugas
ini dijamin UUD 1945 (bab XV, pasal 36). Sebelum era otonomi daerah, Balai
Bahasa tidak mengalami kendala karena program kerjanya bersifat nasional walau
sebagian besar mata program itu berkaitan dengan aspek-aspek bahasa daerah.
Namun, ketika otonomi daerah diberlakukan, muncul pertanyaan apakah Balai
Bahasa tetap berpegang pada Propenas ataukah Propeda. Jika ditilik dari
kepentingan nasional, lembaga ini tetap berkewajiban melaksanakan Propenas,
tetapi jika dilihat dari kepentingan daerah, lembaga ini (seharusnya) juga
menjadi pelaksana utama Propeda. Dan bila berpedoman pada UUD 45 dan BGHN,
bagaimanapun lembaga ini tetap memiliki tugas ganda, yakni melaksanakan Propenas
sekaligus Propeda. Hanya saja, sekarang muncul indikasi Balai Bahasa
diposisikan bukan sebagai lembaga yang “lebih berkewajiban” melaksanakan
koordinasi untuk tugas-tugas pembinaan bahasa daerah, melainkan hanya sebagai
mitra kerja bagi instansi atau lembaga lain.
Sebagai daerah
otonom, sesuai PP No. 25/2000, setiap Pemda, tidak terkecuali Pemda DIY, memang
berkewajiban menyusun Perda. Jika telah disetujui oleh DPRD dan telah disahkan
Mendagri, Perda itu akan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan program kerja
daerah. Namun, sayang sampai hari ini Perda tentang itu belum juga kelar.
Harapan kita, tentu saja, setelah Perda diundangkan, Propeda akan segera
disusun dan segera dilaksanakan.
Hanya saja, satu hal perlu dicatat, karena
pembangunan di bidang kebahasaan di Indonesia merupakan pembangunan yang
sekaligus bersifat nasional dan lokal, program yang disusun pun mestinya berupa
program yang terpadu, tidak problematis, tidak tumpang tindih, antara program
nasional (Propenas) dan program daerah (Propeda). Dan dalam hal ini kita
(Pemda) tidak perlu ragu lagi karena telah lahir Peraturan Mendagri No. 40
Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan
Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Tersurat dengan jelas bahwa
Permendagri itu mewajibkan Pemda untuk bertugas ganda, yakni melakukan
pembinaan dan pengembangan bahasa negara dan sekaligus bahasa daerah.***
Dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 1 November 2001, dan dimuat ulang dalam buku Masyarakat Berkomunikasi (YB Margantoro, editor).