Makna Religiositas Mudik
Saturday, December 31, 2016
Edit
Setiap kali datang masa liburan, terutama menjelang
Idulfitri, mudik merupakan sebuah peristiwa yang paling sering dibicarakan.
Bukan saja ia sebagai momen penting yang berkaitan dengan suasana fitrah atau kesucian manusia, tetapi
juga dilihat sebagai peristiwa sosial, ekonomi, dan budaya. Dari segi sosial, dalam peristiwa mudik
terbayang adanya berbagai kerusuhan, kesemrawutan, dan kejahatan. Ini bisa
dilihat di pusat-pusat keramaian seperti di terminal, stasiun, pertokoan, atau
di tempat-tempat penjualan tiket. Bisa juga dilihat betapa meresahkannya kasus
penjambretan, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Dari segi ekonomi, peristiwa mudik ternyata juga
telah “menyulap” para agen, biro perjalanan, pedagang, dan para sopir menjadi
“singa” yang mencoba meraup sekian banyak keuntungan. Dan dari sisi budaya,
peristiwa mudik merupakan simbol keberhasilan atau kegagalan seseorang.
Jika di “negeri lain” orang berhasil
dalam mengadu nasib akan memperoleh pengakuan dan pengukuhan di negerinya
sendiri, dan jika sebaliknya, ia akan
menerima “tudingan” yang menyakitkan. Dan di balik semua itu terja-dilah
semacam pergulatan melawan kehidupan yang keras.
Mudik lebaran sesungguhnya merupakan suatu
perjalanan ke “tanah suci”. Melalui perjalanan itu orang mencoba menyambung
kembali akar-akar persaudaraan yang terputus. Sehingga dicapailah suatu
harmoni. Jadi, para pemudik tidak
sekadar pulang ke tanah kelahiran, tetapi juga mencoba menemukan semangat
dan harapan baru. Setelah sekian lama pergi, entah setahun, dua tahun, bahkan
puluhan tahun, mereka perlu sekali waktu mengenang tanah leluhur yang pernah
membesarkannya. Di situlah mereka menemukan kedamaian, karena setelah saling
menerima dan memberikan maaf, mereka akan merasa “bebas dari dosa”. Di situ
pula mereka akan “menemukan jati diri yang telah lama hilang”.
Mengingat betapa penting arti mudik, wajar jika
seseorang sungguh berani berkorban. Waktu, tenaga, uang, dan segalanya
dipertaruhkan. Karena itu tak jadi soal jika mereka harus berjejal-jejal di
bis, kereta, atau angkutan lainnya. Mereka juga rela menunggu atau bermalam di
stasiun dan terminal. “Daripada tidak
mudik, lebih baik menunggu meski harus banyak berkorban.” Itulah, barangkali, kata terakhir yang masih
bisa diucapkan.
Dampak dan ekses mudik lebaran memang merupakan
“sesuatu” yang selalu menarik. Bukan saja menarik bagi aparat keamanan
(pemerintah) untuk mencari jalan pemecahan yang terbaik, tetapi juga bagi
pengarang yang menulis cerpen dalam buku Mudik
(Bentang, 1996). Dalam buku ini tujuh pengarang mencoba mengungkap sisi-sisi
tertentu di seputar lebaran yang tidak disadari banyak orang. Yudhistira ANM
Massardi, misalnya, dalam cerpennya “Lebaran Kami” memberikan jalan yang
terbaik untuk mengatasi timbulnya dampak negatif terhadap mudik lebaran.
Dikisahkan bahwa seorang ibu memiliki 10 anak, 7 di antaranya berada di
Jakarta, dan 3 lainnya di kota yang terpisah. Bagi anak-anak ini, mudik
dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Sebab, masing-masing sudah berkeluarga
dan mempunyai anak. Karena itu, setelah minta persetujuan dengan 3 anak yang
ada di kota lain, akhirnya sang ibulah yang justru diboyong ke Jakarta. Jalan inilah yang dianggap terbaik karena
dengan demikian beban berat mereka dapat dihindari.
Peristiwa mudik yang benar-benar diartikan sebagai
“kembalinya ke tanah suci” ditampilkan dengan baik dalam cerpen “Hati yang
Damai, Kembalilah Kepada Tuhan” karya Kuntowijoyo. Namun, mudik dalam
cerpen itu tidak diartikan “kembali dari merantau dan akan mempertautkan
kembali akar yang telah lama putus”, tetapi kembalinya seseorang kepada Tuhan
setelah melakukan berbagai tindak kejahatan dan maksiat. Dan ini berbeda dengan
cerpen “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar” karangan Mohammad Diponegoro karena cerpen itu mengartikan mudik sebagai
sarana pencapaian harmoni sebuah keluarga.
Di satu sisi, mudik sebenarnya merupakan suatu
peristiwa yang sangat menggembirakan. Namun, di sisi lain juga menimbulkan
ironi menyedihkan. Ini biasa terjadi pada keluarga-keluarga miskin. Lihatlah
betapa menyedihkan keluarga Joko dan Tinah dalam cerpen “Mudik” karya Mustafa
W. Hasyim. Keluarga yang mencoba mengadu nasib di Jakarta ini sebenarnya ingin
sekali mudik ke Jawa. Tetapi, nasiblah yang menggagalkan keinginannya.
Mencari makan saja susah, apalagi ia harus menderita sakit. Dan puncaknya ia
banyak utang sehingga tak bisa mudik. Padahal, ketiga anaknya sudah
membayangkan betapa bahagianya berjumpa dengan kakek, nenek, Pakde, Tante, dan
lainnya. Ini membuat hati Joko dan Tinah teriris. Kesedihan orang miskin akibat tekanan ekonomi
seperti ini tampak pula pada diri Sahid dalam cerpen “Pengangkut Sampah di
Malam Takbiran” karya Mustafa W. Hasyim. Di tengah kebahagiaan orang berlebaran
ia masih harus bekerja lembur demi uang untuk menghidupi keluarga.
Demikian kesan sepintas membaca cerpen-cerpen dalam buku Mudik.
Dari sepuluh cerpen yang ada dalam buku ini, yang mengisahkan peristiwa mudik
hanya cerpen “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar” (Mohammad Diponegoro), “Salam
Lebaran” (Hamsad Rangkuti), “Lebaran Kami” (Yudhistira), dan “Mudik” (Mustafa
W. Hasyim). Sedangkan cerpen “Hati yang Damai Kembalilah Kepada Tuhan”
(Kuntowijoyo), “Malam Takbiran” dan “Reuni” (Hansad Rangkuti), “Parcel” (Ahmad
Munif), “Wangon-Jatilawang” (Ahmad Tohari), dan “Pengangkut Sampah di Malam
Takbiran” (Mustafa W. Hasyim) tidak mengisahkan peristiwa mudik, tetapi
tentang liku-liku kehidupan di seputar
hari lebaran. Karena itu, jika dilihat temanya, sebenarnya judul buku ini yang
paling pas bukan “Mudik” tetapi yang berkaitan dengan lebaran. Misalnya, “Salam
Lebaran” atau “Lebaran Kami”. Atau, jika dilihat secara umum, menurut tema yang
lebih besar, justru judul pengantar “Kembali ke Tanah Suci” yang ditulis
Mohamad Sobary itulah yang paling cocok untuk dijadikan judul kumpulan cerpen
ini.
Sebagai catatan akhir, buku ini tidaklah terlalu
istimewa. Meskipun para pengarangnya sudah cukup terkenal dalam kancah
kesusastraan Indonesia, tetapi
cerpen-cerpen yang ada masih dalam taraf “biasa” dari segi kualitas. Kendati
demikian, sebagai produk seni (sastra) yang berusaha merekam realitas sosial, di antaranya
realitas mudik yang selalu menjadi masalah serius yang perlu dicarikan
jalan keluarnya, karya-karya dalam buku ini layak dihargai. Sebab, betapapun
kecilnya, karya ini masih menampakkan adanya suatu “kebenaran”. ***
Media Indonesia, 2000