Kerinduan Danarto kepada Tuhan
Thursday, December 15, 2016
Edit
Dalam
kesusastraan Indonesia, nama Danarto tidaklah mungkin dilupakan di antara
sekian banyak sastrawan terkemuka di Indonesia. Sastrawan kelahiran Mojowetan,
Sragen, Jawa Tengah ini lebih dikenal sebagi cerpenis. Sebagai cerpenis,
Danarto telah banyak mempublikasikan karyanya, antara lain kumpulan cerpen Godlob (1976) yang memuat delapan
cerpen, yaitu "Godlob", “Gambar Jantung Ditusuk Panah” atau lebih
dikenal sebagai "Rintrik", "Sandiwara Atas Sandiwara",
"Kecubung Pengasihan", "Armageddon", "Nostalgia",
"Asmaradana", dan "Labyrint." Sedangkan kumpulan cerpennya Adam Ma'rifat (1982) memuat enam cerpen,
yakni "Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat", "Adam Ma'rifat",
"Megatruh", "Not Lagu disertai kata Ngung-Ngung, Cak-Cak",
"Lahirnya Sebuah Kota Suci", dan "Bedoyo Robot Membelot."
Danarto dikenal
sebagai sastrawan dengan konsep mistik. Namun, mistik dalam tesisnya justru
menjadi tujuan pokok pencarian Tuhan. Ia mempergunakan karya kreatifnya sebagai
wahana imajinatif untuk menyatu dengan Tuhan (Sang Pencipta). Barangkali ia
bertolak dari eksistensinya sebagai manusia yang semua itu dapat diperoleh
justru bila hakikat kemanusiannya dikembalikan kepada dirinya sendiri. Kalau
boleh kita interprestasikan, itu sejalan dengan aliran filsafat eksistensi Karl
Jaspers yang menegaskan bahwa hakikat kebebasan manusia adalah justru karena
Tuhan “ada”. Lain kiranya dengan Paul Sartre yang berpendapat sebaliknya.
Sartre berpendapat bahwa hakikat kebebasan manusia ialah karena Tuhan “tidak
ada”. Artinya, eksistensi tidak berdasarkan transendensi atau tidak
berlandaskan kepada adanya Zat Yang Maha Tinggi.
Kendati
demikian, lain kiranya dengan konsep mistik Danarto. Ia lebih bersepaham dengan
pemikiran filsafat Karl Jaspers, seorang filsuf Jerman, yang menyatakan bahwa
hakikat kebabasan manusia adalah karena Tuhan "ada". Titik tolak
demikianlah yang kemudian disinyalir oleh Danarto dan kemudian dituangkan dalam
beberapa karya sastranya, seperti terlihat pada kumpulan cerpen Godlob dan Adam Ma'rifat.
Dalam
cerpen “Godlob”, misalnya, tersaji suasana porak poranda kehidupan manusia yang
melawan maut. Dalam hal ini, hidup dan mati sesungguhnya bersatu. Ia tidak
memperdulikan apa arti sebuah kematian atau kehidupan sehingga sang tokoh
disimbolkan sebagai eksistensi pribadi yang lepas dari pengaruh pihak lain. Sebab, semua yang
hadir (“ada”) tentu akan kembali kepada “tak ada”. Inilah hakikat kehidupan.
Karena itu, dalam kisah cerpen ini sang ayah tidak lagi mengenal anaknya
sehingga akhirnya mereka saling bunuh. Barangkali ini karena kehidupan manusia
masih amat dikuasai oleh nafsu jasmaniah. Dengan demikian, semua hakikat dalam
kehidupan akan dapat dimengerti apabila segalanya dikembalikan kepada dirinya
sendiri sekaligus bertransendensi dengan Tuhan, Zat yang Maha Tinggi.
Kasus serupa tampak dalam cerpen
"Armageddon”. Di dalam cerpen ini juga dikisahkan adanya kebobrokan
kehidupan manusia yang tidak memahami eksistensi pribadi dan Tuhannya. Seorang
gadis mencintai Boneka, namun si Boneka sesungguhnya telah menjadi pacar
ibunya. Akhirnya terjadi bantai-membantai antara orang tua dan anak. Dengan
begitu, nafsu jasmaniah dalam hal ini masih amat besar pengaruhnya. Namun, itu
pun segalanya akan dapat dipahami jika dikembalikan kepada eksistensi dan
transendensi.
Eksistensi manusia yang mengalami
proses pencarian Tuhan terlihat pada cerpen "Kecubung Pengasihan".
Segala benda selain manusia dianggap sebagai makhluk yang amat rendah derajatnya.
Namun, seperti dikatakan oleh seorang perempuan hamil dalam cerpen ini, itu
semua adalah karena proses reinkarnasi. Tetapi, dirinya menyadari bahwa akhirya
toh segalanya akan kembali pada Zat Yang Maha Tinggi. Karena itu, manusia
diharapkan tidak memperpanjang proses reinkarnasi sebab ia tahu bahwa segala
yang dapat mengetahui timbangan baik-buruk hanyalah Tuhan. Kalau demikian
halnya, telah tercapailah kesesuaian antara jagad
cilik dan jagad gedhe atau antara
dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Demikian juga di dalam cerpen
"Gambar Jantung Ditusuk Panah" (Rintrik). Cerpen yang memperoleh
hadiah Horison 1968 ini menokohkan Rintrik sebagai pahlawan walaupun toh
akhirnya juga mati di tangan sang pemburu. Justru saat maut menemui dirinya, ia
bahkan tersenyum dan sadar karena dirinya merasa bersua dengan Tuhan.
Barangkali pemikiran saat manusia mati itulah, bagi Danarto dianggap sebagai
saat untuk berdialog dengan Tuhan. Selain kerinduannya terhadap Tuhan lewat
“proses penyatuan diri”, lebih khusus lagi ia melandaskan pada soal kebatinan
Jawa.
Bagi Danarto prinsip pokok konsepsi
kebatinan Jawa hanyalah bertujuan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Dengan
demikian, terjadilah perpaduan dua konsep, yakni konsep kebatinan Jawa dengan
mistik Islam. Yang lebih
terarah pada masalah ini adalah kisah dalam cerpen "Nostalgia". Di
dalamnya diungkapkan bahwa hanya manusia yang menghargai hakikat Ketuhanan saja
yang dapat mencapai keharmonian, yakni harmoni yang sesuai dengan prinsip
Ketuhanan. Hal demikian terungkap dalam dialog antara Abimanyu (tokoh wayang)
dengan seekor katak sebelum mereka menemui ajal dalam peperangan.
Masalah lain yang disajikan Danarto
mengenai kehadiran atau eksestensi kehidupan manusia terungkap dalam cerpen
"Sandiwara atas Sandiwara." Di dalamnya diketengahkan bahwa sesuatu
yang hadir pasti akan pergi. Karena itu, seperti dikatakan oleh tokoh Rutras
bahwa sekali waktu manusia pasti akan kehilangan sesuatu yang paling
dicintainya. Barangkali ini adalah kesadaran Danarto sebagai pengarang mengenai
ketidaklanggengan sesuatu yang hadir, kecuali Tuhan, sebab Tuhan dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang tak pernah hadir tetapi sekaligus selalu hadir.
Begitu juga masalah kepastian atau
ketidakpastian kebenaran hidup di dunia dalam cerpen "Asmaradana".
Kisah dalam cerpen ini berkaitan dengan kepercayaan kaum Kristen. Tokoh Salome
ingin memiliki kepala Yahya, sang pembaptis, sebab ia berniat untuk bertemu
dengan Tuhan dengan cara mengutuk Tuhan. Tetapi, akhirnya ia menyadari bahwa ia
tidak mungkin akan dapat bertemu dengan Tuhan. Karena itu, ia akhirnya menyesal
dan menyerah kalah. Dengan demikian, akhirnya dapat dinyatakan bahwa apabila
dalam kehidupannya manusia tidak berjalan sebagaimana yang ditentukan Tuhan,
manusia tersebut akan mendapatkan kutukan Tuhan dan diberi imbalan sesuai
dengan perbuatannya, seperti diungkapkan dalam cerpen "Labyrint".
Demikian agaknya pencarian Tuhan
bagi Danarto sebab ia merasa bahwa eksistensinya amat jauh dari Tuhan sekaligus
ingin mendekatkan diri pada-Nya. Mungkin, titik pangkal pemikiran Danarto
adalah bahwa segala sesuatu yang ada, dan juga manusia adalah tidak mutlak
adanya, artinya dari tidak ada menjadi ada, akhirnya kembali tidak ada. Itulah
hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Arief Budiman pernah berkata bahwa
kehadiran cerpen-cerpen Danarto adalah dalam situasi trance, atau mungkin ia menggunakan kesadarannya tetapi seolah ia
betul-betul dapat berdialog dengan Tuhan. Artinya, barangkali ia memikirkan
dengan sadar tetapi sesungguhnya seolah tidak sadar. Dalam kasus inilah,
sebagai manusia Danarto mengembalikan segalanya ke dalam dirinya dan ini
sekaligus untuk mendekatkan diri dengan Zat Yang Maha Tinggi. Namun, Zat Maha
Tinggi ini sesungguhnya hanyalah sebuah simbol (chifer) sebab ini sesungguhnya mengandung arti yang lebih dari itu.
Demikianlah konsep mistis dan magis Danarto yang sesungguhnya juga amat
religius.
Melalui cerpen-cerpen sebagaimana
telah dibicarakan di atas tampak bahwa ada semacam pengongkretan pelajaran
aliran kebatinan dalam bentuk kesusastraan. Dan di sini tampak seni oleh
Danarto dipergunakan sebagai alat penerang bagaimana manusia menyatukan diri
dengan Tuhan. Dan tema dalam cerpen-cerpen Danarto berkaitan dengan dunia
kebatinan. Seluruh cerpennya bersifat alegoris, artinya semua tokoh dan
peristiwa sekaligus latarnya harus dipahami dari personifikasi-personifikasi
dan gagasan yang bersifat mistis dalam melihat kenyataan hidup, yakni kerinduan
makhluk pada Zat Yang Maha Tinggi.
Dari seluruh uraian di atas akhirnya
dapat dinyatakan bahwa proses perjalanan manusia mencari Tuhan terlihat pada
cerpen "Kecubung Pengasihan." Kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan
terlihat pada cerpen "Asmaradana", yang di dalamnya sekaligus dapat
dilihat tentang ketidaklanggengan kehidupan manusia, seperti pula tampak dalam
cerpen "Nostalgia" dan "Rintrik". Sedangkan kehidupan yang
masih dikuasai oleh nafsu jasmaniah karena pengaruh situasi sekeliling terlihat
dalam cerpen "Godlob" dan "Asmaradana". Dengan keunikannya,
sebagai sastrawan Indonesia, Danarto mendapatkan tempat tersendiri yang unik
pula, seperti halnya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Budi Darma. ***
Dimuat di Suara
Karya, Minggu, 15 Juni 1986.