Ibu Kita Raminten Muhammad Ali: Novel Potret Sosial
Sunday, December 11, 2016
Edit
Sebagai
seorang pengarang, atau sastrawan, Muhammad Ali dapat dikategorikan sebagai
pengarang yang banyak mengangkat dunia sosial. Baik di dalam novel, cerpen, drama,
maupun puisi-puisinya, pengarang kelahiran Surabaya pada 23 April 1927 ini
lebih sering mempermasalahkan manusia bawah (orang miskin). Ajip Rosidi
menyatakan bahwa, sebagai contoh, sandiwara berjudul “Lapar” karangan Muhammad
Ali mengungkap persoalan orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apa pun
miliknya sekedar sebagai pengisi perut. Bahkan termasuk menjual diri dan atau
anak-anaknya.
Tidak
terkecuali dalam novelnya Ibu Kita
Raminten yang diterbitkan oleh Sinar Harapan tahun 1982. Novel ini
juga menghadirkan masalah sosial, yakni orang miskin, si Raminten, istri
Markeso, seorang pengamen yang hidupnya bergelimang dalam suasana kemelaratan
akibat kebodohan dirinya. Dalam berbagai hal, Muhammad Ali memang tajam dalam
melukiskan manusia yang beraneka ragam sifatnya meskipun di sana sini masih
terlihat unsur humor yang segar. Sebagai sastrawan yang berorientasi pada
soal-soal kemasyarakatan ia mengangkat lingkungan sekitar yang sering dilihat
dan digelutinya terutama lingkungan kota Surabaya.
Di
antara sepuluh buah novelnya, agaknya novel Ibu Kita Raminten paling jelas menghadirkan tema dan masalah
sosial. Di dalam novel ini tampak ada jarak atau kesenjangan sosial (kota dan
desa) yang tajam akibat dari proses urbanisasi sehingga manusia dan
eksistensinya tidak sanggup mempertahankan satu ‘kepastian cita-cita’ tertentu.
Oleh
karenanya, ia seolah berdiri di antara dua jurang yang sama-sama tidak
menguntungkan.
Dilukiskan
oleh Muhammad Ali dalam novel ini bahwa Raminten hidup dengan tiga belas orang
anak. Akan tetapi, sejak kelahiran anak pertama (tahun 1945) hingga anak ke dua
belas, anak-anaknya itu selalu diberikan pada orang lain. Sebab, menurutnya,
memelihara anak sementara biaya hidup tidak ada, lebih baik anak dipelihara
orang lain dengan tujuan agar anak-anak itu kelak dapat menikmati hidup yang
layak. Karena itulah, dua belas anak yang lahir antara 1945 sampai 1955
semuanya menjadi anak angkat orang lain. Anak-anak itu ialah Ruba’i, Lastri,
Gani, Fitri, Alamsyah, Syamsi, Joko, Fadli, Dewi, Ningsih dan Ningrum (kembar),
dan Anwar. Oleh karena dua belas anaknya diberikan kepada orang lain, akibatnya
kini Raminten dan Markeso suaminya merasa kesepian. Oleh sebab itulah, ia
merencanakan lagi untuk mempunyai anak. Tetapi, mereka cemas karena anak yang
didambakan tidak kunjung datang. Kecemasan mereka baru surut setelah beberapa
tahun kemudian Raminten ternyata mengandung. Kemudian lahirlah Stambul, anak
yang diidamkan itu.
Ketika
sedang mengandung, sebelumnya Raminten memang telah mendapatkan isyarat lewat
mimpinya, yakni mimpi tentang seorang raksasa yang akan mencekik leher
Raminten. Barangkali itulah yang menandai bahwa anak yang bakal lahir akan
memiliki tabiat yang tidak baik. Ternyata, impian itu menjadi kenyataan.
Stambul, anak terakhir yang sangat didambakan oleh Raminten, setelah dewasa
menjadi seorang berandal, suka mabuk-mabuk, merampok, dan semacamnya.
Pada
suatu hari, terjadilah peristiwa perampokan dan pembunuhan terhadap juragan
Cina, bernama Babah Wong. Pelaku pembunuhan itu tidak lain ialah Stambul, anak
Raminten. Setelah diringkus oleh pihak yang berwajib dan kemudian disidangkan
di pengadilan, Stambul akhirnya dijatuhi hukuman selama lima tahun. Dan pada
bagian akhir cerita, yang mengejutkan ialah, ternyata persidangan itu dipimpin
oleh Ningrum S.H. (anak ke sebelas Raminten) dan disaksikan oleh sepuluh
keluarga dari anak-anak Raminten yang telah diberikan pada orang lain. Meskipun
dalam persidangan itu Raminten bebas dari segala tuduhan, dan bertemu pula
dengan dua belas anaknya, tapi tak lama kemudian Raminten meninggalkan mereka
untuk selamanya.
Boleh
jadi cerita ini dimaksudkan untuk mencoba menyoroti masalah penegakan hukum
terhadap berbagai bentuk penyelewengan yang sering terjadi baik oleh pihak
pemerintah/aparat maupun oleh siapa pun di bidang kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat. Dan maksud atau upaya penegakan hukum ini, dan ini mungkin
merupakan tendensi si pengarang, terlihat jelas pada sikap seorang hakim ketua,
yaitu Ningrum S.H. Meskipun yang diadili adalah adik kandungnya sendiri, ia
tetap bersikap adil sebagaimana halnya hukum yang berlaku. Ini barangkali
semacam isyarat bahwa ‘segala yang menyimpang harus diluruskan’, dan oleh
karena itu hukuman lima tahun terhadap terdakwa, Stambul, tetap dijatuhkan dengan
semestinya. Bahkan, untuk membuktikan kebenaran kata-kata Raminten tentang
nama-nama anak-anaknya yang telah diberikan kepada orang lain, Ningrum S.H.
juga mengundang nama-nama yang telah disebutkan untuk hadir dalam sidang. Dan
ternyata, apa yang disebutkan Raminten benar, mereka semua adalah anak
Raminten, dan juga saudara Ningrum sendiri.
Dilihat
secara struktural, novel Ibu Kita
Raminten termasuk novel
yang tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pelukisan watak tokoh-tokohnya jelas,
yakni hitam dan putih, baik dan buruk. Sesungguhnya, novel ini dapat
diibaratkan sebagai semacam cerita pendek saja. Dikatakan demikian karena pada
bagian pertama dilukiskan ketika sidang kasus pembunuhan akan dilangsungkan.
Akan tetapi, pada bagian berikutnya dan seterusnya cerita membalik ke masa-masa
lalu tentang kehidupan, perkawinan, dan proses pembunuhan. Karena itu, alur
cerita menjadi sorot balik (flash back). Dan pada bagian akhir cerita,
peristiwa kembali ke masa persidangan itu. Kalau seandainya cerita ini hanya dilukiskan
bagian pertama dan terakhir saja, barangkali cerita tidak kehilangan
identitasnya sebagai cerita. Itulah sebabnya mengapa cerita novel dapat
diibaratkan sebagai cerita pendek.
Latar
sosial budaya yang mendominasi cerita ini ialah sekitar Surabaya atau tepatnya
di daerah Jawa Timur. Hal itu dapat kita lihat, misalnya, ungkapan bahasa yang
khas, kesenian daerah yang khas pula seperti ludruk ontang-anting, ludruk
garingan, dan bermacam-macam dialek Jawatimuran seperti camilan, umpatan cialat, dan sejenisnya. Itulah
fakta-fakta cerita yang terdapat dalam novel ini. Novel yang diungkapkan dengan
gaya bahasa sederhana, kadang ironis, sedikit simbol, ternyata mampu pula
mengungkapkan masalah yang sesungguhnya amat besar. Dan agaknya harus
demikianlah novel yang baik.
Sebagai
catatan akhir, setelah menikmati novel ini, kita dapat menyatakan bahwa novel Ibu
Kita Raminten dapat dikategorikan sebagai novel yang mengarah pada potret
(protes?) sosial. Kahidupan sosial yang tidak berjalan semestinya haruslah diluruskan
atau ditegakkan, misalnya, kebiasaan tak bertanggung jawab terhadap
anak-anaknya, penyelewengan terhadap hukum dan keadilan, penyimpangan moral,
dan sebagainya. Meskipun termasuk pengarang periode 40-50-an, tetapi dengan
terbitnya novel ini (1982) Muhammad Ali boleh jadi dapat dikategorikan sebagai
pengarang yang tak ketinggalan zaman. Sebab, ide, gagasan, dan
pikiran-pikirannya tidak mudah surut oleh terpaan ruang dan waktu. ***
Kedaulatan
Rakyat, 19 April 1987.