Ekspresi “Kemarahan” Gus Mus
Friday, December 23, 2016
Edit
Kita
tahu di Indonesia jumlah kiai begitu banyak. Tapi kiai macam Gus Mus (A Mustofa
Bisri) boleh jadi hanya satu-satunya. Ia sungguh berbeda bila dibanding
kiai-kiai lainnya. Sebab putra kedua tokoh NU (KH Bisri Mustofa) lulusan
Al-Azhar, Kairo, Mesir ini tak hanya dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren
(Raudlotut Tholibien Rembang), tapi juga sebagai penyair, cerpenis,
esais, pelukis, dan budayawan. Sebagai kiai, Gus Mus
jauh dari kesan angker dan eksklusif. Justru sebaliknya, dia seorang humoris,
bahkan sangat moderat, juga demokrat.
Kiai kelahiran Rembang 10 Agustus 1944
ini tak sekedar peduli pada pondok pesantrennya, pada santri-santrinya, tapi
juga amat peduli pada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Karenanya, meski dia
seorang kiai, dia bisa “marah-marah” ketika melihat negeri ini terpuruk dan tak
bisa menjamin kedamaian dan kesejahteraan rakyat. Dan “kemarahan” itu pun makin
menjadi-jadi karena, ternyata, penyebab atau biang kerok dari seluruh
petaka itu justru mereka-mereka (para penguasa) yang mestinya bertanggung jawab
memberi keamanan dan kedamaian.
Anda
boleh percaya boleh tidak, tapi yang jelas buku ini merupakan wujud ekspresi
“kemarahan” Gus Mus atas berbagai peristiwa buruk yang menimpa negeri ini sejak
menjelang ambruknya Orde Baru hingga peristiwa Bush mencaplok Irak. Ekspresi
kemarahan itu diwujudkan dalam bentuk esai-esai yang cerdas, tajam, dan terus
terang. Dan buku ini bukan kumpulan esai politik, hukum, atau keadilan, tetapi
isinya terasa jauh menembus masalah-masalah politik, hukum, dan keadilan.
Jelasnya kemarahan Gus Mus dalam buku ini menembus nurani kita.
Itu sebabnya,
buku ini tak sekadar mengajak kita untuk mengubah tatanan sosial, politik,
hukum, dan keadilan, tetapi lebih dari itu: agar siapa pun, termasuk para
pemegang kekuasaan di negeri ini, bisa melihat dan merenungi diri sendiri.
Mengapa? Karena sebuah perubahan besar hanya akan berjalan lancar dan bisa
dicapai jika dimulai dari perubahan dalam diri sendiri. Bagaimana cara melihat
dan mengubah diri sendiri? Jawabnya bisa beraneka macam, dan dengan gaya
anekdotis, jenaka, dan kritis, Gus Mus telah memaparkannya secara apik dalam
buku ini.
Buku
ini dibagi menjadi enam bagian. Setiap bagian diberi judul sendiri-sendiri.
Dalam kata pengantarnya Gus Mus memberi rambu-rambu bahwa setiap bagian dapat
dinikmati secara terpisah. Artinya, buku ini tidak harus dibaca dari awal,
tetapi pembaca dapat njujug (langsung) pada bagian-bagian yang disukai.
Namun, kalau dicermati, enam bagian itu merupakan kesatuan dan layak dibaca
dari awal sampai akhir. Sebab dengan membaca secara keseluruhan, kita bisa
menangkap secara utuh pola pikir Gus Mus dalam memandang beragam gejala dan
fenomena yang terjadi di negeri ini.
Bagian pertama, yang
diberi judul “Tokoh”, berisi uraian mengenai figur-figur (tokoh panutan) yang
perlu diteladani oleh kita semua, termasuk oleh para pemimpin dan penguasa
negeri ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Mengapa negeri ini tak mampu
memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat? Jawab Gus Mus sangat jelas
dan tegas: karena para pemimpin kita kebanyakan tidak berusaha meneladani sikap
dan pola kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w.
Bagian kedua dan ketiga,
yang diberi judul “Keberagaman” dan “Norma Pergaulan”, berisi ajakan untuk
menyadari bahwa kita tidak mungkin mengingkari realitas: bangsa kita sangat
beragam (bahasa, suku, agama, dll) dan karenanya kita (seluruh bangsa
Indonesia) harus mampu menciptakan suatu norma pergaulan yang bisa merangkul
seluruh aspek keberagaman itu. “Janganlah merusak/membantai orang lain dengan
dalih membela agama (Allah) tertentu, sebab agama (Allah) apa pun sama sekali
tidak menyukai tindakan merusak/membantai,” demikian ungkap Gus Mus.
Kepedulian Gus Mus
terhadap kecarut-marutan negeri ini diungkap dengan kritis dalam bagian keempat
yang diberi judul “Kemerdekaan II”. Gus Mus melihat bahwa negeri ini memang
sudah merdeka (17 Agustus 1945). Tetapi, konsep “merdeka” tampak masih diartikan
sebagai “berkuasa dan bebas melakukan apa saja”. Karenanya, sulit dibedakan
mana presiden, mana wakil presiden, mana parlemen, mana polisi, mana preman,
mana jaksa, mana hakim, mana mubaliq, mana provokator, mana politisi, mana
pers, dan mana teroris (hlm. 167). Itu sebabnya, secara implisit, Gus Mus
“marah besar” sehingga berteriak: kita perlu kemerdekaan yang benar-benar
merdeka (Kemerdekaan II). Dan kalau kita sudah merdeka, tidak hanya dalam
konteks diri tetapi juga antar-sesama manusia, maka wajiblah kita (sebagaimana
diuraikan dalam bagian lima) menolak tindak kejahatan (teror, intimidasi)
seperti yang dilakukan oleh Amerika (Bush) dan sekutunya.
Demikianlah, setelah
“kemarahan” dicurahkan habis, dalam bagian terakhir buku ini, yang diberi judul
“Kembali Kepada Allah”, penulis (Gus Mus) mengajak kita untuk melihat diri
sendiri, bertobat, dan kembali pada Allah. “Untuk membersihkan diri, tidak
cukup kita hanya mengakbarkan takbir dan zikir, tetapi perlu mengetahui secara
tepat letak, macam, dan kadar kekotoran yang melekat pada kita sehingga kita
bisa secara tepat pula membersihkannya. Cobalah masing-masing kita menggeledah
diri, meraba kekotoran sendiri, dan membersihkannya untuk kembali kepada Allah.
Kalau kita merasa pernah katutan (atau sengaja mengorupsi) hak orang
lain, coba kembalikan atau tebusilah….” (hlm 262). Begitu pinta Gus Mus. ***