Cerpen Indra Tranggono: Manusia Lebih Iblis Ketimbang Iblis
Sunday, December 11, 2016
Edit
Suatu
ketika, kepada sang juru cerita dalam mimpinya, iblis berkata demikian. “Saya,
atas nama iblis, dengan ini menyatakan mengundurkan diri sebagai iblis.
Keputusan ini saya ambil dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan atau
intimidasi. Sebab, manusia kini telah jauh melangkahi saya. Tanpa dipengaruhi
bangsa iblis seperti saya, otak manusia jauh lebih pintar dan cemerlang. Segala
tindakan penyimpangan manusia juga jauh lebih sistematis. Itulah sebabnya, saya
mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia.”
Pernyataan iblis
di atas boleh jadi sangat komik (lucu). Tetapi, kalau dicermati, pernyataan itu tidaklah sekadar komik, namun juga
ironik. Sebab, nyatanya, semakin hari perilaku manusia tidak semakin baik,
tetapi semakin gila/edan/busuk. Terbukti, sebagaimana dapat kita baca dan lihat
di koran-koran dan televisi, kini banyak orang justru bangga pada tindak
keculasan (korupsi, memperkosa, membunuh, merampok, dsb). Bahkan, akhir-akhir
ini kita dijejali dengan berbagai istilah: politisi busuk, DPR busuk, caleg
busuk, eksekutif busuk, pengusaha busuk, dan masih banyak lagi. Maka, bukan hal
aneh kalau iblis berniat mengundurkan diri dari “jabatannya”sebagai iblis.
Sebab, iblis melihat, perilaku manusia kini jauh lebih iblis ketimbang iblis.
Agaknya, itulah satu di antara banyak hal
yang diteriakkan Indra Tranggono lewat cerpen-cerpennya dalam antologi
keduanya, Iblis Ngambek (Penerbit Buku Kompas, 2003). Memang, tidak
semua cerpen Indra dalam antologi ini mengangkat tokoh iblis sebagai lensa
pemotret kesemrawutan sosial, politik, budaya, hukum, kekuasaan, dsb. Bahkan,
dari 15 cerpen yang dihimpun dalam buku ini, tokoh iblis hanya tampil eksplisit
dalam dua cerpen, yaitu “Iblis Ngambek” dan “Ketika Angin Mati”.
“Iblis Ngambek” mengungkap protes iblis terhadap
bangsa manusia karena tanpa hasutan iblis pun manusia sudah terlalu pintar
berbuat dosa. Sedangkan “Ketika Angin Mati” mengisahkan iblis yang sengaja
meremas jantung si Kakek hingga tewas; dan itu dilakukan agar si Kakek tidak
terus menyombong karena, menurut iblis, si Kakek yang di mata keluarganya
sangat baik dan jujur (dan bahkan mendapat penghargaan sebagai pahlawan) itu
sesungguhnya tak lebih dari seorang pembunuh yang kejam dan bengis.
Kendati tokoh iblis hanya hadir dan
menjadi “peluru tajam” dalam dua cerpen, pada dasarnya “iblis-iblis” itu hadir
pula dalam seluruh cerpen Indra. Tergencetnya seorang psk (pekerja seks
komersial) yang tidak lagi bisa menikmati rasa rindunya pada arwah-arwah bayi
dalam “Ziarah Arwah-Arwah Bayi” (cerpen ini masuk dalam buku Cerpen Terbaik
Kompas, 2000), misalnya, terjadi akibat adanya iblis yang menguasai diri
sang mucikari. Sementara, kisah tragis Ipah dipenjara hanya gara-gara sepotong
semangka dalam “Sungkawa Seiris Semangka”, juga akibat adanya iblis yang merasuki
jiwa sang juragannya.
Hanya saja, dalam
cerpen-cerpen Indra, “iblis-iblis” itu ditampilkan dalam bentuk dan sosok yang
berbeda-beda. Ia menjadi ikon kreatif yang harus dipandang dengan cara yang
berbeda-beda pula. Dalam “Kristal Kesunyian”, misalnya, iblis menjadi sesuatu
yang memperdaya si pengebom hotel di Pulau Paradesi (cerpen ini agaknya
diilhami oleh tragedi bom Bali) sehingga menewaskan banyak orang, termasuk
Kevin (suami Stefany), warga negara Australia. Dalam “Belatung”, iblis pun
menjadi virus yang menggerogoti nurani sang mucikari dan hidung belang yang
memperdaya Menul di pantai Depok (Parangtritis).
Selain itu, iblis
juga menjelma pada orang-orang kaya tapi tak jelas pekerjaannya dalam “Engkau
Tak Lahir dari Rahim Serigala” dan “Sepasang Mata yang Hilang”. Iblis yang
mencengkeram dan melindas hati para petinggi, pejabat, dan penguasa terasa
jelas dalam “Monumen Tanpa Kepala”, “Percakapan Patung-Patung”, dan “Upacara
Menatap Matahari”. Dalam “Enam Jahanam” dan “Malaikat Kecil”, iblis menguasai
diri para perampok dan pembunuh bayaran. Dan agaknya “iblis-iblis” itu oleh
Indra ditransformasikan ke dalam perilaku tokoh-tokoh yang realistik dan dalam
alur yang skematik.
Sebagaimana tampak dalam antologi
pertamanya, Sang Terdakwa (Yayasan untuk Indonesia, 2000), cerpen-cerpen
Indra dalam antologi kedua ini juga masih berkutat pada relasi-oposisi antara
ketakberdayaan wong cilik dan wajah busuk kekuasaan (sistem
pemerintahan/hukum). Dan dalam relasi-oposisi itu, seperti halnya cerpen-cerpen
sosial pada umumnya, Indra lebih berpihak pada wong cilik, pada kaum
tertindas dan teraniaya (pelacur, pembantu rumah tangga, orang-orang miskin,
dst). Itulah sebabnya “perilaku iblis” secara metaforik selalu ditampilkan pada
diri sang penguasa (para majikan, juragan, orang-orang kaya, para
pejabat, dll).
Melalui “iblis-iblis” tersebut terlihat
Indra Tranggono bermaksud menyingkap tabir atau protes terhadap kecarut-marutan
sosial yang terjadi di negeri ini. Kecuali barangkali cerpen “Kristal
Kesunyian” yang cenderung “berwarna ungu” (pinjam istilah Fuad Hassan) sebab
hanya berkisah tentang kesedihan seorang wanita akibat ditinggal mati suami
saat honey moon. Jadi, tidak berpretensi memotret keadaan sosial.
Dan, dalam menyampaikan “maksud” tersebut,
Indra tidak terjebak pada sikap sloganistik. Indra sadar tidak sedang menulis
selebaran/pamflet, tetapi menulis cerpen (sastra). Itulah sebabnya apa yang
diinginkannya disampaikan melalui simbol dan metafor-metafor. Karenanya tak
jarang persona-persona dari dunia supranatural (iblis, malaikat, jin, dll),
peristiwa mimpi, orang gila, dan sejenisnya diusung ke dalamnya sehingga cerpen
tak melahirkan kesan vulgar. Dan dalam bahasa yang cukup ekonomis,
personifikatif, dan hiperbolik cerpen-cerpen ini menjadi sebuah bangunan dunia
estetik yang mampu menohok/mensubversi batin pembaca. Karenanya pantaslah kalau
cerpen-cerpen ini dibaca oleh para pemegang kekuasaan. Cuma masalahnya, mana
mau baca kalau hati mereka lebih iblis ketimbang iblis?
Sebagai catatan, tampaknya ada kemubadziran
dalam antologi Iblis Ngambek. Sebab beberapa cerpen sebenarnya sudah
dihimpun dalam buku Sang Terdakwa. Bukankah masih banyak cerpen Indra
yang tersebar? Dan diakui cerpen “Iblis Ngambek” terasa pas menjadi titel buku
kumpulan ini. Sebab “manusia-manusia iblis”-lah yang menjadi “pokok soal” yang
ingin ditelanjangi pengarangnya. Hanya saja, Indra terkadang kurang jeli
mentransfer kode-kode budaya dalam cerpen-cerpennya. Salah satunya adalah
ungkapan handphone dan sekolah menengah umum (SMU) dalam cerpen “Malaikat
Kecil”. Jelas bahwa kode budaya itu jauh menyimpang dari setting tempat
dan waktu.
Akhirnya, dari seluruh cerpen dalam
antologi ini, cerpen “Belatung” terasa kurang begitu sreg. Cerpen tersebut
agaknya terlalu terkungkung oleh keinginan membuat surprise. Sebab kalau
dilihat dari susunan alurnya tak jelas dimaksudkan sebagai simbol apa
belatung-belatung yang tengah “menggerogoti” kehidupan gelap si pelacur (Menul)
di pantai Depok, Parangtritis, Yogya, itu.***
Dimuat MINGGU PAGI Minggu II Februari 2004