Hari Puisi Indonesia dan Potret Produksi Buku Sastra (di) Yogyakarta
Friday, August 02, 2013
Edit
Selamat sore, salam sejahtera, dan salam sastra,
Karena ini masih dalam bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah,
secara pribadi saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi
hadirin yang benar-benar sedang menjalankannya. Mudah-mudahan ibadahnya
diterima oleh Allah Swt dan kelak senantiasa mendapatkan limpahan berkah
yang berlipat ganda dari-Nya. Amiiinn.
Beberapa waktu lalu, ketika sahabat saya, penyair Suharmono Arimba,
bersama sastrawan Mahwi Air Tawar, datang ke kantor dan mengungkapkan
keinginannya mengundang saya untuk memberikan ORASI BUDAYA pada acara
ini, terus terang saya terkejut. Sebab, saya bukanlah sastrawan,
seniman, apalagi budayawan. Saya hanyalah seseorang yang kebetulan
bekerja di sebuah instansi yang bergerak di bidang bahasa dan sastra,
Balai Bahasa Provinsi DIY. Karena itu, sangat tidak pada tempatnya kalau saya diminta untuk
memberikan ORASI BUDAYA. Tetapi, ketika hal itu saya ungkapkan kepada
mereka, keduanya mengatakan, saya boleh bicara apa saja. Saya boleh
sekedar memberikan tausyiah ringan, sekadar untuk menggenapi acara
Perayaan HARI PUISI INDONESIA. Untuk itu, permintaan itu saya sanggupi,
walaupun dengan berat hati.
Baiklah. Karena pada kesempatan ini saya boleh bicara apa saja, saya
hanya ingin memberikan obrolan ringan mengenai beberapa hal. Di antara
obrolan itu berkaitan dengan pengalaman saya mengikuti dan melihat,
walau hanya dengan kacamata yang sempit dan terbatas, mengenai kondisi
dan atau kecenderungan kesastraan, khususnya mengenai produksi buku-buku
sastra Indonesia di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kalau di dalam konteks ini saya menyinggung mengenai sastra Indonesia
di Yogyakarta, hal ini hendaknya jangan diartikan secara lain. Karena,
kalau dipersoalkan, istilah ini dapat mengundang perdebatan yang tak
berkesudahan. Lagi pula, bagi kami, hal itu telah dimuati dengan niatan
dan tujuan tertentu. Tentu saja, tujuan itu tujuan yang baik.
Sebelum saya memaparkan beberapa catatan mengenai kondisi kesastraan
di Yogyakarta, pertama-tama saya hendak mengungkapkan satu hal, yakni
tentang sebutan HARI PUISI INDONESIA yang dirayakan pada hari ini (26
Juli). Saya tidak tahu persis, kira-kira kapan dan di mana HARI PUISI
INDONESIA itu ditetapkan atau dimaklumatkan. Saya juga tidak tahu siapa
atau kelompok (penyair) mana yang telah menetapkannya. Hal ini, misalnya, berbeda dengan HARI SASTRA INDONESIA yang telah
dicetuskan oleh Taufiq Ismail dkk di Bukittinggi (24 Maret 2013). Dan,
penetapan HARI SASTRA INDONESIA itu dikaitkan dengan tanggal kelahiran
sastrawan besar Abdoel Moeis (3 Juli 1883). Sementara, penetapan HARI
PUISI INDONESIA konon dikaitkan dengan kelahiran penyair besar Chairil
Anwar (26 Juli 1922). Padahal, kita juga tahu, tanggal 28 April, yakni
hari wafatnya penyair Chairil Anwar (1949), sudah sering kita rayakan
sebagai HARI CHAIRIL ANWAR.
Setiap orang, siapa pun, termasuk seniman dan sastrawan, memang
memiliki kemerdekaan penuh untuk berbuat apa saja, asalkan tidak
menimbulkan kerugian pihak lain. Di sini tentu termasuk hak dan
kemerdekaan untuk menentukan HARI TERTENTU, termasuk HARI SASTRA, HARI
PUISI, HARI CHAIRIL ANWAR, dll. Hanya saja, kadang-kadang kita ini suka berbuat latah. Kalau misalnya
pada hari ini kita bermaklumat mengenai HARI PUISI INDONESIA, mungkin
besok kita bisa juga bermaklumat mengenai HARI CERPEN INDONESIA, HARI
NOVEL INDONESIA, HARI DRAMA INDONESIA, HARI UMAR KAYAM, dan lain-lain. Bahkan, suatu saat, kita juga bisa bermaklumat mengenai HARI LEO,
HARI HARMONO, atau HARI MAHWI AIR TAWAR, dan seterusnya. Kalau demikian
halnya, betapa kita begitu mudah menyatakan suatu hal yang –tak jarang–
kemudian berubah hanya menjadi sensasi. Tetapi, baiklah, kita tidak
perlu risau, tidak perlu galau. Penetapan hari bersejarah, termasuk hari
yang telah dimaklumatkan itu, pada hakikatnya sah-sah saja dan tidak
ada yang melarang atau memberikan sanksi.
Kira-kira dua bulan lalu, ketika hendak memberikan ceramah proses
kreatif di depan 120 mahasiswa STIKIP Saraswati Denpasar di Balai
Bahasa Provinsi DIY, novelis Ahmad Tohari, orang tua imajiner si
Ronggeng Srintil itu, mampir ke ruang kerja saya. Setelah ngobrol
ngalor ngidul tidak karuan, bukan suatu kebetulan, saya bertanya tentang
HARI SASTRA INDONESIA yang telah dicetuskan Taufiq Ismail dkk beberapa
waktu lalu.
Mungkin, dengan sedikit risau, karena beliau ikut di Bukittinggi
waktu itu, beliau buru-buru memotong pertanyaan saya. “Sudahlah, Mas,
yang penting sekarang, bagaimana kita harus berbuat. Semua hari,
termasuk hari-hari yang telah dimaklumatkan sebagai HARI BERSEJARAH itu,
semua dilakukan dengan niat baik. Wajiblah bagi kita untuk menghormati
niat baik mereka. Sebagai sesama warga sastra Indonesia, kita perlu
berpikir, bertindak, dan mengisi hari-hari itu agar kehidupan sastra dan
kehidupan kita bisa lebih eksis lagi. Itulah yang lebih penting.”
Itulah tadi pernyataan singkat Ahmad Tohari. Memang benar, yang lebih
penting ialah bagaimana kita harus berbuat. Tentu saja, termasuk apa
yang kita perbuat pada hari ini. Kalau pada hari ini dua orang penyair
muda kita, Suharmono Arimba dan Tia Setiadi, telah menulis dan
meluncurkan buku puisinya, OBITUARI RINDU dan TANGAN YANG LAIN, ini
merupakan wujud nyata dari perbuatannya, yakni perbuatan dalam berpikir
dan sekaligus mempertanyakan segi-segi kemanusiaan dan kehidupan.
Dengan berpikir dan mempertanyakan segi-segi kemanusiaan dan
kehidupan, berarti bahwa kedua penyair ini telah terlibat dan mencoba
menceburkan diri ke dalam obsesi besarnya, yang tentu saja berkait
dengan kemanusiaan dan kehidupan kita. Dengan terlibat ke dalam suatu
obsesi, berarti kedua penyair ini juga senantiasa melakukan dialog
dengan diri sendiri, melakukan dialog dengan segala sesuatu yang
terpancar dari dirinya, untuk mencari jawaban atas sekian banyak
pertanyaan yang menderanya.
Kita sepakat dengan Budi Darma bahwa bentuk komunikasi atau dialog
dengan diri sendiri itu pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu proses
dari sebuah perjalanan panjang dalam usahanya untuk mengejar cakrawala.
Jawaban demi jawaban yang telah diperoleh, yang antara lain terwujud
dalam bentuk puisi, termasuk puisi dalam buku OBITUARI RINDU dan TANGAN
YANG LAIN, dengan demikian juga hanya merupakan sebuah terminal, hanya
merupakan salah satu wujud pemberhentian sementara, dan belum sampai ke
puncak apalagi final.
Itu sebabnya, tidak berlebihan jika kita berharap, kedua penyair ini
kelak akan terus mengejar cakrawala, akan mencapai sekian banyak
terminal, dan akan melahirkan sekian banyak karya yang lebih matang.
Meskipun, kita semua menyadari bahwa cakrawala yang dikejar itu diyakini
tidak akan pernah berhenti berlari. Tetapi, baiklah, meskipun usahanya
ini baru sampai pada terminal tertentu, bagaimana pun mereka telah
menorehkan sejarah bagi dirinya sendiri sebagai sastrawan, dan
karya-karya puisinya tetap menjadi semacam pernik yang menghiasi
ruang-ruang kreatif kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta, yang
secara diam-diam sebenarnya terus bergerak.
Baiklah. Sekarang saya hendak membuka catatan saya berikutnya, yakni
tentang kondisi produksi buku-buku sastra di Yogyakarta dalam beberapa
tahun terakhir. Dengan lahirnya dua buku kumpulan puisi ini, tentu saja
khasanah sastra Indonesia di Yogyakarta menjadi lebih hidup.
Lebih-lebih, karena memang buku kumpulan puisi termasuk barang langka di
tengah produksi buku-buku sastra di Yogyakarta.
Saya mencatat, bahwa dalam 5 tahun terakhir, setidaknya sejak 2006
hingga 2011, ada sekitar 93 buku karya sastra (karya mandiri) yang
diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta. Saya yakin, jumlah ini sebenarnya
bisa lebih dari itu, karena tidak semua buku itu bisa tercatat dalam
arsip kami. Jumlah itu pun belum termasuk buku yang diproduksi atau
diterbitkan pada tahun 2012 dan 2013.
Hanya saja, dari jumlah 93 buku karya sastra itu, buku kumpulan puisi
dan cerpen termasuk langka, karena dalam waktu 5 tahun ini hanya ada 16
buku kumpulan puisi dan 10 kumpulan cerpen. Sementara, yang dominan
adalah novel, yakni ada 67 buah. Yang lebih memprihatinkan lagi, di tengah maraknya buku-buku karya
sastra itu, dan di tengah daerah istimewa yang memiliki lebih dari 90
penerbit anggota IKAPI dan lebih dari 400 penerbit/percetakan non-IKAPI,
ternyata tidak ada satu pun buku kumpulan naskah drama. Saya tidak tahu
persis, apakah kelangkaan buku drama itu disebabkan karena genre drama
memang tergolong elite, ataukah memang karena ruang-ruang kreatif di
bidang drama telah jauh dari para seniman dan sastrawan kita. Mudah-mudahan saja dugaan ini keliru, sebab, boleh jadi, para
sastrawan kita sebenarnya terus berkarya. Hanya mungkin, karena penerbit
lebih berpikir tentang nilai ekonomi, sementara buku sastra tidak
menjanjikan secara finansial, sehingga buku-buku kumpulan naskah drama
pun tidak kunjung lahir.
Catatan saya yang berikutnya lagi ialah, meskipun dalam 5 tahun
Yogyakarta hanya mampu melahirkan 93 buku sastra, tetapi hal ini sudah
merupakan prestasi tersendiri yang cukup baik bagi kota Yogyakarta.
Sebab, saya yakin, prestasi ini tidak dicapai oleh kota-kota lain di
Indonesia. Selain itu, juga masih ada sekian penerbit yang tidak hanya
berpikir tentang profit, tetapi sekaligus berpikir tentang idealisme.
Hanya saja, memang, semua itu baru dilihat dari sisi kuantitas. Kalau
dilihat dari sisi kualitas, agaknya masih perlu ada semacam peninjauan
kembali bagaimana sebenarnya aspek literer diolah dan memperoleh
perhatian yang lebih.
Kalau dilihat dari orientasi tematiknya, memang sebenarnya dalam
konteks sastra Indonesia di Yogyakarta, ada perkembangan yang cukup
signifikan. Bahkan juga menunjukkan ada variasi yang menarik. Variasi
itu, misalnya, mulai dari masalah-masalah sederhana dalam kehidupan kita
(cinta dan keluarga), sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek
kemanusiaan yang lebih serius (sosial, budaya, politik, pendidikan,
gender, kemiskinan, bencana alam, dsb).
Bahkan mereka juga telah mencoba mengolah beragam aspek tersebut
dengan unsur sejarah, mitos, wayang, dan lain-lain. Di samping itu, yang
tampak sedikit menggembirakan adalah, belakangan semakin banyak muncul
penulis-penulis muda dengan gaya dan cara yang lebih kreatif dalam
menyalurkan bakat keseniannya di tengah pola budaya dan media yang kian
kapitalistik.
Hanya saja, tampaknya, akibat dari semua itu, sebagian besar dari
karya-karya yang lahir, umumnya masih terkungkung oleh budaya massa,
masih terpengaruh oleh dunia mode, dan diproduksi dengan cara-cara
kejar-tayang seperti sinetron televisi, sehingga terkesan lahir sebagai
barang instan. Gagasan yang diangkat cenderung tidak mengalami
pendalaman, bahkan ada yang hanya ingin bertausiah lewat sastra atau
memberi nasihat. Fakta cerita dan sarana-sarana sastra yang ada juga
tidak diberdayakan secara maksimal sehingga tingkat kemasukakalan
rendah, aspek lifelike-nya pun terabaikan.
Tentu saja, hal ini tidak seluruhnya demikian karena di tengah
semaraknya produksi buku karya sastra itu masih ada beberapa karya yang
mengarah pada kanon literer. Hanya saja, fakta menunjukkan bahwa jumlah
karya semacam itu sangat sedikit.
Kalau tadi saya katakan sebagian besar karya yang lahir terseret oleh
budaya massa atau dunia mode, dapat saya contohkan demikian. Kita tahu
bahwa novelis religius HABIBURRACHMAN telah sukses dengan novelnya
AYAT-AYAT CINTA dan kemudian diikuti sejumlah novel cinta lainnya.
Demikian juga dengan ANDREA HIRATA yang sukses dengan novel tetraloginya
LASKAR PELANGI.
Kesuksesan HABIBURRACHMAN dan ANDREA HIRATA itulah yang kemudian
menjadi mode bagi para novelis muda kita. Dari situ kemudian mengalir
sejumlah novel dengan label tertentu, yang kemudian label itu pada
akhirnya menjadi trade mark. Karya-karya yang terbit itu kemudian dengan
gagah menggunakan label NOVEL SPIRITUAL, NOVEL RELIGIUS, NOVEL PENYEJUK
HATI YANG SEDANG GUNDAH, NOVEL MOTIVASI, NOVEL INSPIRASI, dan
sebagainya. Dan label demikian secara eksplisit dicantumkan sebagai subjudul novel, dan dilengkapi pula dengan ilustrasi yang modis dan fashionable.
Kalau dicermati, di satu sisi, label judul yang sangat tendensius itu
barangkali bisa menjadi kode komunikasi yang baik antara karya dengan
calon-calon pembacanya. Tetapi, di sisi lain, label yang tak jarang
diungkapkan dengan bahasa persuasif (seperti iklan) itu justru bisa
menjadi hal yang sebaliknya jika horizon harapan pembaca tidak
terpenuhi. Dan faktanya, hal yang terakhir itulah yang mendominasi
novel-novel yang terbit belakangan ini. Atau, barangkali, saya tidak
tahu persis, siapa tahu memang telah terjadi pergeseran estetika di
kalangan pembaca sastra dewasa ini. Kalau memang benar demikian, berarti kecenderungan seperti yang disebutkan tadi tidak bisa dianggap salah atau menyimpang.
Di samping beberapa hal tadi, belakangan juga ada booming lain dengan
munculnya banyak karya yang melabeli dirinya dengan NOVEL SEJARAH.
Hanya saja, hampir tidak berbeda dengan apa yang telah saya sebutkan,
umumnya karya-karya itu belum bisa melepaskan diri dari berbagai
telikung sehingga sebagai sebuah novel ia belum mampu membangun tuturan
kreatif yang orisinal dan belum bisa melahirkan bangunan dunia
alternatif yang menyegarkan. Materi sejarah seringkali hanya
direkonstruksi sedemikian rupa sehingga membaca novel tak ubahnya
seperti membaca buku sejarah yang sudah ada, tidak memperkaya
nilai-nilai sejarah dan belum muncul usaha menyingkap kemungkinan aspek
sejarah yang hilang.
Hal demikian berarti, kalau diyakini karya sastra merupakan cahaya
yang diperlukan untuk menembus gelap gulita kehidupan, boleh dikatakan
bahwa karya jenis itu belum menampakkan cahayanya. Namun, sekali lagi,
tidak semua karya yang lahir belakangan tergolong demikian. Sebab, masih
ada beberapa karya yang tetap menunjukkan kepiawaiannya dalam bertutur
dan mengolah beragam dimensi kehidupan sehingga cahayanya pun mampu
memercik keluar.
Demikianlah, antara lain, yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
ini. Harapan kita, mudah-mudahan, dua kumpulan puisi yang diluncurkan
pada acara ini hanya menjadi semacam terminal, hanya menjadi
persinggahan dan jawaban sementara, dalam usaha untuk terus mengejar
cakrawala. Dan mengejar cakrawala bukanlah hal mudah, dan semua itu
memerlukan nafas yang sangat panjang. Akhirnya, saya ucapkan selamat
kepada penyair S. Arimba dan Tia Setiadi, juga selamat kepada semuanya.
Yogyakarta, 26 Juli 2013
Orasi Budaya Kepala Balai Bahasa Tirto
Suwondo ini disampaikan pada Perayaan Hari Puisi Indonesia dan
Peluncuran Buku Puisi OBITUARI RINDU (S. Arimba) dan TANGAN YANG LAIN
(Tia Setiadi) pada Jumat, 26 Juli 2013 pukul 15.00, di Perpustakaan
gelaranibuku, Indonesia Buku, Jalan Patehan Wetan No 3, Alun-Alun Kidul,
Keraton, Yogyakarta.