Novel Upacara Korrie Layun Rampan: Nikmat, Indah, dan Mencerdaskan
Tuesday, August 06, 2013
Edit
Kita
harus percaya, sastra tidak hanya sekadar rentetan kata-kata kosong belaka, tetapi
lebih dari itu, sastra mampu memberikan kenikmatan (batin), membangun keindahan
(hidup), juga menambah kecerdasan (otak). Di tangan orang biasa, kata-kata
(bahasa) boleh jadi hanya sekadar piranti komunikasi biasa, tapi tak demikian
di tangan pengarang. Oleh pengarang, kata-kata (bahasa) telah dipilih, dikemas,
dan diberi kekuatan yang luar biasa sehingga kata-kata (di dalam sastra) itu
mencerminkan sesuatu yang memiliki empat sifat (angin, air, api, dan tanah)
yang tak seorang pun pernah lepas darinya.
Baiklah, barangkali itu hanya teori. Sekarang, mari kita coba buktikan. Dan untuk membuktikan, bacalah novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang nukilannya (bab lima, bagian terakhir). Kalau kita membaca novel itu secara utuh dan seksama, segera kita akan menangkap beberapa hal.
Baiklah, barangkali itu hanya teori. Sekarang, mari kita coba buktikan. Dan untuk membuktikan, bacalah novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang nukilannya (bab lima, bagian terakhir). Kalau kita membaca novel itu secara utuh dan seksama, segera kita akan menangkap beberapa hal.
Pertama,
cobalah kita telusuri lebih dahulu kisah perjalanan hidup tokohnya. Tokoh “aku”
dalam novel ini digambarkan hidup di sebuah masyarakat (suku Benuaq, Dayak) di
pedalaman Kalimantan; dan masyarakat itu masih menjunjung tinggi tradisi budaya
setempat yang terwujud dalam bentuk upacara-upacara (kebaktian/religi). Setidaknya
ada empat upacara besar yang dilukiskan dalam novel ini, yakni balian (upacara yang dilakukan oleh
dukun dalam hubungannya dengan nasuq juus
atau pencarian jiwa yang hilang); kewangkey
(upacara penguburan tulang-tulang manusia); nalin
taun (pesta tahunan yang berupa upacara persembahan kepada para dewa untuk
menghindarkan kampung dari dosa dan malapetaka); dan pelulung (upacara perkawinan).
Selain itu, masih ada beberapa upacara
kecil-kecil, di antaranya ompong
(upacara adat atau gengsi), sentean
(mencari sebab penyakit), ngejakat
(saat bayi lahir), tempong pusong
(saat pusar bayi tanggal); dan lain sebagainya. Dan setiap diselenggarakan
upacara, pengarang melukiskan secara detail/meyakinkan, sehingga kita (pembaca)
larut ke dalamnya dan sampai pada sebuah anggapan bahwa upacara merupakan
bagian dari kehidupan nyata dari kebaktian yang tak dapat dihindarkan dari
kehidupan masyarakat suku itu (Benuaq, Dayak). Dan dalam kaitan ini, karena si
aku lahir dan besar di masyarakat tersebut, mau tidak mau, ia pun harus
menerima sebagaimana adanya. Maka, ia pun tak kuasa menolak setiap
diselenggarakan upacara baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keperluan
(orang) lain.
Akan tetapi, ketika ia dewasa dan telah
mengenal cinta, yang bukan suatu kebetulan dibarengi oleh perkembangan zaman,
lebih-lebih ketika orang-orang luar (Barat) mulai berdatangan dengan membawa
misi yang dilandasi pikiran modern dan rasional, dalam diri si aku pun berubah.
Sehingga ia mulai bertanya, apa yang dinamakan kehidupan itu harus dilalui
dengan upacara? Atau memang hidup itu upacara? Lalu apa tujuan hidup itu? Dan
di tengah berbagai upacara itu, bagaimana sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa
seperti yang sering dikatakan oleh orang Barat (Tuan Smith)?
Berangkat dari sekian banyak pertanyaan
itulah pikiran si aku kemudian goyah, bingung, dan bahkan menyangsikan
keberadaan/kebenaran upacara-upacara tersebut. Kesangsian itu pula yang membuat
ia kemudian tak percaya pada balian
(dukun) yang mengatakan bahwa gadis-gadis yang dicintai si aku dan hendak
diperistri (Waning, Rei) akan selalu mati muda akibat terkena kutukan. Itulah
sebabnya, di akhir cerita, si aku kemudian memiliki keyakinan penuh, bahwa tak
seorang pun bisa meramalkan kematian seseorang (kecuali Tuhan Yang Maha Esa),
sehingga ia berani menikahi Ifing (adik Waning). Si aku berpikir bahwa ia akan
hidup bahagia sampai tua bersama Ifing istrinya dan tidak lagi takut pada
ramalan balian.
Nah,
dengan menelusuri sejarah hidup dan lukisan pengalaman batin si aku tatkala menyaksikan
sekaligus menjalani berbagai upacara itu, diakui atau tidak, kita merasa mendapatkan
kenikmatan tertentu. Kenikmatan itu timbul tidak hanya karena dalam batin kita juga
muncul sekian banyak pertanyaan seperti yang ada di dalam pikiran si aku,
tetapi juga seolah kita dibawa serta menghayati alam pikiran dan kehidupan
orang Benuaq (Dayak), bahkan seakan kita sendiri merasa terjun ke dalam dunia
gaib mereka, ke dalam kosmos dan kepercayaan mereka. Kita tak dapat
membayangkan (ini akan menimbulkan kenikmatan tertentu), bagaimana seandainya
kita adalah si aku dan bagaimana menghadapi upacara-upacara itu? Nah, lintasan
dan bayangan itulah, yang, dalam tataran tertentu, membawa kita pada suatu suasana
yang menikmatkan. Dan kenikmatan serupa juga akan kita rasakan tatkala kita
mengandaikan diri sebagai si aku yang “dipermainkan” nasib dalam bertualang
cinta.
Kedua,
ketika kita mengikuti alur petualangan cinta si aku, mulai dari kisah asmaranya
dengan Waning sampai pernikahannya dengan Ifing, hidup kita juga terasa lebih
indah seindah kehidupan si aku dan Ifing. Hal itu terasa ketika kita menyaksikan
di akhir cerita si aku berhasil meyakinkan diri bahwa tiada seorang pun yang
bisa menentukan nasib/takdir seseorang kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan
diri si aku itu –-sehingga ia berani memutuskan menikahi Ifing-- tidak lain adalah
suatu kemenangan, dan kemenangan si aku melawan mitos dan ramalan balian tentang “siapa pun gadis yang
dinikahi si aku akan mati muda” adalah suatu keindahan, sementara keindahan
hidup si aku bersama Ifing adalah keindahan hidup kita juga. Jadi, keyakinan
dan kemenangan si aku menjadi cermin yang meyakinkan kita bahwa di dalam
kehidupan ini kita diharapkan tidak berpaling ke yang lain kecuali pada Tuhan
Yang Maha Esa.
Memang, kalau kita hanya membaca dan meresapi
kisah kehidupan si aku di akhir cerita, pernikahan si aku dengan Ifing belum
bisa menjadi cermin keindahan hidup sebuah keluarga. Sebab, pernikahan semacam
itu hanyalah merupakan peristiwa biasa sebagaimana pernikahan pada umumnya. Barulah
pernikahan itu menjadi tidak biasa, menjadi istimewa, dan terasa lebih indah,
karena dibumbui oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Kehidupan si aku dan Ifing
tidaklah indah tanpa adanya kisah tentang ketidakmengertian si aku mengapa
Waning, gadis yang pertama dicintainya, harus meninggal di mulut buaya. Pernikahan
si aku dan Ifing juga tak akan terasa indah jika tidak diawali dengan peristiwa
mengapa Rei harus mati terjatuh di air terjun yang menurut balian memang
dikehendaki Dewa Air. Jadi, kalau kita cermati benang merahnya, peristiwa demi
peristiwa yang terjadi sebelumnya menjadi semacam suspense dan foreshadowing
sehingga bersatunya si aku dan Ifing ke dalam satu ikatan keluarga terasa
melegakan dan membahagiakan; dengan begitu terasa lebih indah.
Ketiga,
itu tadi di satu sisi tentang kisah kehidupan tokoh. Sekarang, mari kita lihat
apa yang muncul di balik kata-kata (bahasa) ciptaan pengarang. Karena kata-kata
(bahasa) adalah simbol, dan simbol adalah cara penyampaian sesuatu untuk maksud
lain, tentu saja di balik novel ini juga ada maksud lain. Dan, setelah menikmati
dan menghayati novel ini, satu hal yang segera kita tangkap adalah bahwa
pengarang ingin membongkar mitos. Agaknya Korrie ingin membuka mata masyarakat,
bahwa mitos (berbagai macam upacara yang dilakukan sejak manusia lahir, remaja,
dewasa, menikah, sampai mati) itu tidak layak lagi untuk dijadikan pegangan
hidup dan hanya merupakan pemborosan belaka. Jadi, yang layak dikerjakan demi
hidup dan kehidupan hanyalah tindakan rasional dan akal sehat. Selain itu,
Korrie juga ingin menunjukkan kepada masyarakat (pembaca) bahwa manusia itu
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga ia mau tak mau harus dan hanya boleh
berpaling pada-Nya. Lebih dari itu, dalam novel ini Korrie secara implisit juga
melakukan protes atas dampak modernisasi dan dehumanisasi. Hal ini ia lakukan
karena saat itu banyak terjadi malapetaka akibat orang-orang Barat (pendatang)
suka mempermainkan gadis-gadis Dayak di samping merusak (menggunduli) hutan.
Itulah,
antara lain, sisi tertentu yang mencerdaskan (otak) kita dari karya sastra, tak
terkecuali dari novel Upacara. Dan contoh ini hanya sebagian kecil saja,
sebab sisi-sisi lain yang mencerdaskan otak kita masih banyak. Taruhlah
misalnya pilihan kata-katanya yang diambil dari bahasa daerah (Dayak). Melalui
kata-kata bahasa daerah itu (misalnya, anan la lumut ‘perjalanan ke
sorga’, lamin ‘rumah panjang suku Dayak’, selolo ‘sobekan daun
pisang’, burey ‘tepung beras’, dsb) kita akan memperoleh banyak
pengetahuan tentang kebudayaan Dayak di Kalimantan. Karena itu, membaca novel
ini berarti sekaligus belajar tentang etnologi budaya Dayak, seperti halnya
kita belajar kebudayaan Jawa dari novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad
Tohari atau Para Priyayi Umar Kayam; atau belajar kebudayaan Minang dari
karya Wisran Hadi dan Darman Moenir; atau belajar kebudayaan Bali dari karya
Oka Rusmini.
Demikianlah,
ulasan sepintas (yang nikmat, indah, dan mencerdaskan) atas novel pertama karya
Korrie Layun Rampan yang pernah memenangkan sayembara penulisan novel DKJ 1976.
Kalau dilihat estetika strukturnya, memang novel ini tidak begitu istimewa,
lebih-lebih dari segi alur dan sistem pengalurannya. Hanya saja, yang membuat
novel ini menarik adalah aspek lokalitasnya yang pada awal 1970-an memang
merupakan sesuatu yang baru dalam kancah sastra Indonesia. Selain itu, yang
lebih menarik lagi, dalam novel ini Korrie mampu menghindar dari kecenderungan
untuk menciptakan karya kitch.
Hal tersebut terlihat pada usahanya dalam
mengakhiri cerita. Di akhir cerita, Korrie mampu menjaga keseimbangan untuk
tidak secara frontal menolak mitos. Dan itu agaknya merupakan suatu kesengajaan
agar tidak dianggap sebagai “pengkhianat” terhadap kepercayaan dan tradisi
budaya daerah suku itu (Benuaq). Buktinya, di akhir cerita ia tidak
mengemukakan apakah perkawinan si aku dan Ifing langgeng sampai tua atau tidak.
Dan langgeng atau tidak perkawinan mereka, Korrie menyerahkan sepenuhnya pada
tafsiran pembaca. Sebab, kalau mereka digambarkan langgeng sampai tua, misalnya,
berarti niat Korrie membongkar mitos terlalu kentara (eksplisit); dan tentu
saja ini tak bagus bagi sastra yang bermain di dunia simbol.*** (Dimuat Horison/Kakilangit, November 2007).