Membaca Sastra, Memahami Kehidupan
Saturday, August 03, 2013
Edit
Kata para
cerdik-pandai, pada hakikatnya, sastra --yang lebih berurusan dengan masalah keindahan
(dan kebaikan atau kebenaran)-- merupakan “pertunjukan dalam
kata-kata”. Dengan pertunjukan ini, sastra memiliki kekuatan menghibur. Dengan
adanya kata-kata yang menjadi komponen pentingnya, sastra juga memiliki potensi
mengajar. Pengajaran tidak mungkin berlangsung tanpa kata-kata meskipun
pendidikan lebih efektif disampaikan melalui tindakan. Selain
itu, sastra pada hakikatnya juga merupakan “dunia dalam kata-kata”. Cerita yang
bagus, pengalaman yang menggetarkan nurani, rintihan jiwa yang menimbulkan rasa
belas, semuanya terungkap dalam kata-kata (bahasa). Kekuatan bahasa-lah yang
menjadikan sastra sebagai “dunia dalam kata”.
Dalam
kaitan dengan itu, sastra juga merupakan seni (ber)bahasa. Sebagai seni, sastra
menempatkan bahasa sebagai alat dan sekaligus sebagai bahan.
Sebagai alat, bahasa berfungsi menyampaikan gagasan (ide), sedangkan sebagai
bahan, bahasa berfungsi menghibur. Itulah sebabnya, berbicara tentang hakikat
sastra, secara tak langsung sebenarnya telah menyinggung masalah fungsi sastra.
Fungsi yang dimaksud adalah menghibur dan mengajar(kan) sesuatu. Kata para
filosof, salah satunya Horace, fungsi sastra adalah menyenangkan dan berguna (dulce
et utile) bagi hidup.
Mengingat
betapa penting hakikat dan fungsi sastra, betapa penting pula kita (manusia)
membaca karya sastra. Sebab, dengan membaca sastra, berarti kita membaca
sekaligus memahami kehidupan. Dengan memahami kehidupan, kita akan dapat
memilih atau mengambil sikap (baik/buruk) dalam menghadapi kehidupan itu.
Karena karya sastra mengandung sesuatu yang bermakna, yang oleh para ahli
disebut moral, atau nilai, perlulah kita menempatkan sastra sebagai sesuatu
yang berharga. Untuk itu, marilah, mulai saat ini, kita berusaha membaca
sastra, mengapresiasi sastra, mengakrabi sastra, dan yang tidak kalah penting,
mengajarkan (kepada siapa pun) membaca sastra. Sebab, dari sastra, kita tidak
hanya akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman, tapi juga akan mampu
menyikapi dan menilai kekuatan dan kelemahan kita.
Membaca, mengapresiasi, dan sekaligus
mengakrabi sastra itu berlangsung sebagai sebuah proses atau kegiatan yang
mencakupi: memahami, menikmati, dan menghayati. Tiga
kegiatan tersebut berlangsung serempak dan tanpa ada pemisahan yang tegas.
Hanya saja, kalau kita harus mengambil langkah, tiga hal tersebut merupakan
suatu proses berkelanjutan. Memahami, sebagai sebuah proses awal, berarti
memahami bahasa karya sastra. Sebab, pertama-tama, bahasa-lah yang kita hadapi.
Penguasaan atas bahasa teks sastra merupakan modal utama untuk memasuki lebih
jauh dunia dalam kata-kata. Tanpa penguasaan bahasa, tidak mungkin kita
mengapresiasi sastra. Pemahaman struktur puisi (irama, bunyi, gaya, kosakata,
kalimat, dll.), misalnya, atau struktur prosa (tokoh, alur, latar, gaya, dll.),
juga hanya dapat dilakukan melalui bahasa. Maka, sampai di sini, mau tak mau,
kita harus juga belajar bahasa.
Menikmati merupakan proses lanjut dari
memahami. Artinya, setelah memahami struktur lewat bahasa (teks sastra),
konsep-konsep abstrak yang ada di dalam teks sastra lebih dikonkretkan. Karena
itu, penikmatan puisi, misalnya, menyangkut timbulnya rasa senang atau sedih.
Katakanlah, kita merasa senang setelah “mendengarkan” bunyi-bunyi atau irama
dalam teks karena bunyi atau irama itu membawa gambaran angan (imaji) yang
jelas dan hidup. Untuk prosa, misalnya, kita mungkin akan merasa senang setelah
membayangkan jalinan peristiwa (alur) cerita yang penuh ketegangan. Kita juga
akan merasa senang setelah membayangkan pertemuan dua tokoh yang terlibat dalam
percintaan atau berseteru memperebutkan sesuatu yang bermakna dalam hidup.
Sebagai proses lanjut, menghayati
berkaitan dengan penemuan nilai-nilai (moral) hidup yang berguna dan bermanfaat
bagi upaya memperluas wawasan, mempertajam pikiran, dan menghaluskan budi (dan
hati nurani). Pada tahap penghayatan itulah yang menjadikan sebuah karya sastra
dinyatakan bermanfaat atau tidak. Yang diharapkan akan diperoleh dari
penghayatan sastra itu bisa saja berupa informasi kesejarahan, keilmuan, atau
pesan dan ajaran (moral, sosial, religius, dll.). Dan beragam informasi inilah
yang, pada akhirnya, akan membawa kita pada proses seleksi dan evaluasi
terhadap hidup kita.
Maka, akhirnya, sekali lagi, marilah,
mulai hari ini kita (semua) membaca, menikmati, menghayati, dan mengajarkan
(mendidik) kepada siapa saja untuk membaca, menikmati, dan menghayati karya
sastra. Sebab, pada hakikatnya, membaca sastra tidak lain adalah membaca
kehidupan. Membaca kehidupan tidak lain adalah mengevaluasi hidup kita. Dengan
mengevaluasi hidup kita berarti kita akan tahu apakah hidup kita ini berarti
atau tidak. Nah, dengan mambaca sastra mudah-mudahan hidup kita menjadi (lebih)
berarti. ***
Dimuat Bernas Jogja, 22 Maret 2013.