Cerpen Ulat dalam Sepatu Gus Tf: Menggugat Perilaku Kuasa
Tuesday, August 06, 2013
Edit
Membaca cerpen-cerpen Gus tidaklah jauh
berbeda dengan membaca cerpen-cerpen lain karya pengarang (cerpenis) generasi
90-an. Di tengah suatu era atau zaman ketika hak asasi dan kebebasan manusia (rakyat)
dengan sangat mudah diinjak dan disingkirkan (oleh kekuasaan), di dalam dada
generasi pengarang ini, termasuk Gus, seolah ada gemuruh yang tertahan. Maksud
hati hendak berteriak lantang menggugat perilaku yang cenderung tidak memberi ruang
bagi kesejahteraan (kemerdekaan) rakyat, tetapi apa daya karena kuasa (secara
sistemik) telah merampas segalanya.
Itulah sebabnya, sebagai bentuk
kepedulian terhadap situasi yang terjadi, para penulis generasi ini kemudian lebih
suka bermain dengan simbol-simbol (bahasa) yang halus dan tersamar walau di
balik itu tetap tercium bau realitas. Begitu pun Gus tf Sakai, pengarang muda
berbakat yang pada 2004 (belum genap usia 40) telah menerima Penghargaan SEA
Write Award dari Kerajaan Thailand. Meski demikian, permainan simbol itu agaknya
menjadi suatu keharusan karena sadar bahwa mereka (termasuk Gus) tidak sedang
menulis risalah atau pidato (yang hanya memperlakukan bahasa sebagai alat
penyampai aturan yang abstrak dan diskursif), tetapi sedang menulis karya sastra
(yang memanfaatkan bahasa secara lebih kongkret, eksperiensial, dan membebaskan).
Lalu bagaimana Gus bermain dengan
simbol-simbol itu? Coba cermati salah satu cerpennya, Ulat dalam Sepatu. Sebagai misal, mulai dari hal yang sederhana,
kita baca judulnya. Tampak bahwa judul itu terkesan hanya main-main belaka;
terdengar seperti sebuah dongeng untuk anak. Akan tetapi, ketika kita mencoba
masuk ke dalamnya, menukik dan mencermati "dunia" dalam teksnya,
ternyata kata "ulat" memiliki daya asosiatif yang luar biasa. Tentu
saja, daya asosiatif itu hanya bisa tertangkap oleh pembaca yang, paling tidak,
memiliki atau berada di "dunia" yang sama dengan "dunia"
Gus. Sebab, kalau tidak, asosiasi yang muncul bisa lain.
Terlepas dari penjelasan Gus (baca:
proses kreatif) bahwa cerpen itu lahir (1997) pada era Orde Baru, suatu era
ketika pemujaan materi dan korupsi menempati posisi paling sah dan berani,
asosiasi yang muncul pada pembaca ialah bahwa kata "ulat" tidak sekadar
seekor "binatang pengerat" belaka. Tapi, lebih dari itu, pikiran kita
pasti terseret ke sebuah keadaan pada masa itu yang didominasi oleh
pemerintahan yang represif. Dan asosiasi itu terasa lebih nyata karena dalam
cerpen itu muncul relasi oposisi: rakyat vs penguasa; Khairul Safar (seniman)
vs Pak Sek (pejabat); kedai ukir vs Kantor Gubernur; gagal ke
Jakarta (akibat tak punya biaya) vs terbang ke mana-mana (dengan uang
negara). Dan lagi, gambaran supranaturalistik tentang ribuan ulat yang menyembul
dari sepatu dan akhirnya mengubah warna seluruh lantai, dinding, dan gedung Kantor
Gubernur menjadi kelabu semakin memperkuat asosiasi bahwa "kondisi
buruk" itu bukan berkurang tapi justru kian meluas.
Itulah, salah satu di antaranya,
asosiasi yang mengarahkan pikiran kita ke suatu realitas empirik yang bisa
ditangkap dari balik simbol-simbol bahasa yang dimainkan Gus. Dalam konteks
ini, Gus tampak lihai memainkan simbol bahasa dan momen-momen supranatural
sehingga cerpen ini tetap mampu menjaga jarak bahwa ia bukan esai tentang realitas.
Kalau toh ia bisa diberi tafsir sebagai kritik atau gugatan terhadap realitas, tapi
tak mungkinlah ada pihak yang merasa dikritik atau digugat. Sebab, kritik/gugatan
itu dikemas secara sangat santun dan halus. Cobalah cermati kisah ini.
Entah sudah kali yang ke berapa,
tokoh "saya" (Khairul Safar) datang ke Kantor Gubernur menepati janji
si "perempuan itu" (staf Pak Sek) dengan harapan akan segera bisa
bertemu dengan pejabat di kantor itu. Tetapi, entah sudah kali yang ke berapa
pula, selalu saja perempuan itu berkata bahwa Pak Sek belum bisa menerima
karena sibuk. Logikanya, menghadapi kenyataan ini "saya" bisa saja
marah atau berang: kenapa si pejabat itu sama sekali tak menghargainya (belum
bisa menerima kehadirannya). Tetapi, anehnya, yang terjadi malah sebaliknya,
"saya" justru merasa kasihan pada mereka, yakni kasihan pada pejabat
yang sangat sibuk itu dan pada perempuan yang setiap saat harus tergopoh
meladeni keperluan atasannya. Jadi, betapa santun sikapnya walau ia sebenarnya
sangat dirugikan.
Memang, suatu ketika,
"saya" sempat kecewa, curiga, bahkan berburuk sangka terhadap kondisi
yang tak sesuai keinginannya. Sebab, pejabat yang hendak ditemuinya hari-harinya
penuh dengan urusan penting dan terbang ke mana-mana (ke Jakarta, Denpasar, ke Jakarta
lagi, dst) sehingga menganggap remeh urusan "saya". Coba baca kutipan
ini.
"Dengan
tetap terbengong-bengong, saya sampai ke meja perempuan staf pejabat itu.
Mungkin tak sepenuhnya saya mendengar ketika ia berkata, "Maaf Pak, Pak
Sek sebentar lagi harus ke Denpasar dan kembali ke Jakarta. Kira-kira dua
minggu atau sepuluh hari lagilah Bapak kemari."
Seperti
tak berkepentingan dengan jawaban itu, saya membalikkan tubuh. Sesampai di luar
barulah saya ingat sesuatu dan buru-buru kembali. "Tapi Bu," kata
saya, "pameran itu dibuka sembilan hari lagi. Bila Bapak baru kembali dua
minggu atau sepuluh hari lagi, maka ...."
"Bapak
ini bagaimana?! Sudah saya katakan Pak Sek harus berangkat. Urusan
penting!"
"Ya,
ya, ..." Saya tergagap dan merasa malu ketika menyadari bahwa urusan
pejabat itu tentu lebih penting dari sekadar undangan pameran saya. Seperti
tadi, saya balikkan tubuh. ..."
Begitulah, meskipun
"saya" kecewa, kekecewaan itu segera berubah menjadi sebuah
kesadaran, bahkan merasa malu ketika ia kembali ke perempuan itu dan sedikit
berkilah. Jadi, dalam konteks ini, "saya" benar-benar tahu diri --dan
mungkin ini berkat kepolosannya-- walau di balik itu, sebenarnya, ungkapan yang
berbunyi "bahwa urusan pejabat itu tentu memang lebih penting dari sekadar
undangan pameran saya" merupakan ironi pahit yang dikemas dengan cara amat
halus.
Selain santun dan halus, permainan
simbol bahasa dalam cerpen ini juga sangat komik. Komikalitas ini tampak pada
cara Gus memilah dan membangun "dunia" yang berbeda-beda, berjarak, tapi
menyatu. Berbeda-beda karena dunia fiksi (dunia Khairul, dunia pejabat
gubernuran, dunia pegawai gubernuran, dunia orang-orang/masyarakat dalam cerpen)
yang dibangun memiliki jarak yang jelas dengan dunia nyata (dunia pengarang dan
dunia pembaca). Dan dikatakan menyatu karena, meskipun berjarak, dua dunia itu (dunia
fiksi dan dunia nyata) tetap saling berkaitan secara asosiatif.
Bagi Khairul, dunia penguasa
(pejabat gubernuran) yang dihadapinya adalah dunia yang tak peduli pada rakyat;
dan agaknya apa yang ada di benak Khairul ada pula di benak pengarang bahkan
juga di benak pembaca. Sebaliknya, Khairul yang oleh pengarang dan pembaca
dianggap sangat waras, oleh staf dan pegawai gubernuran Khairul justru dianggap
"gila". Hal ini tampak pada peristiwa ketika Khairul datang lagi ke
Kantor Gubernur, entah kali yang ke berapa.
"Ada
apa, Pak?" Seorang pegawai yang kebetulan lewat tiba-tiba bertanya.
"Dinding
... ulat, ulat ... ulat di dinding," saya berkata gugup sambil
menunjuk-nunjuk. Pegawai itu, perempuan juga, menoleh ke dinding tapi kemudian menatap
saya dengan sinis dan berlalu.
Hal serupa terjadi, setelah beberapa
bulan bahkan beberapa tahun kemudian, ketika Khairul naik bus sepulang dari membeli
cat kayu di kota dan kebetulan lewat di
depan Kantor Gubernur.
Kadang
saya juga merasakan kalau orang-orang di bus juga memandang aneh ke gedung itu.
Bila telah begitu, tanpa sadar, gumam saya terlompat. "Ulatnya. Ulatnya
semakin banyak."
Mereka
yang mendengar omongan saya segera memalingkan muka, menatap tajam ke saya.
Gugup, saya buka kacamata. "Maaf, maaf," kata saya. Semakin hari,
minus saya semakin bertambah. Mungkin saya harus segera menukar lensa. Tapi
itulah, sampai kini biayanya selalu belum ada."
Begitulah, antara lain, simbol-simbol
(bahasa) yang dimainkan oleh Gus dalam Ulat dalam Sepatu. Cerpen Pilihan
Kompas yang kemudian dimuat dalam buku antologi Derabat (1999) dan Kemilau
Cahaya dan Perempuan Buta (1999) ini sebenarnya tidaklah terlalu istimewa,
bahkan cenderung sederhana, baik dari segi tema maupun karakterisasinya. Tetapi,
di balik kesederhanaannya itu terasa ada getaran halus yang bernuansa "menggugat".
Dan karena gaya penceritaannya amat suspensif, dunia yang dibangun pun amat komik,
sehingga gugatan itu pun terasa halus dan sugestif. ***
Dimuat Horison/Kakilangit, Maret 2008.